Ibnu Atha’illah al-Iskandari menulis dalam salah satu bait
al-Hikam: “Tidaklah tumbuh dahan-dahan kehinaan, kecuali dari benih ketamakan”.
Ibnu Atha’illah mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon.
Dahan-dahannya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga
mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Ibnu Atha’illah berkata,
“Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh menjadi pohon
kehinaan yang dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.”
Ketamakan merupakan sikap tercela yang dapat merusak
‘ubudiyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesedihan. Ketamakan menandakan
ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak
kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap
sesuatu yang telah ditakdirkan Allah.
Oleh karena itu, ia kemudian berkata, “Jikaketamakan
ditanya, ‘Siapa bapakmu?’ niscaya ia akan menjawab, ‘Keraguan terhadap takdir.’
Jika ditanya, ‘Apa pekerjaanmu?’ ia menjawab, ‘Mencari kehinaan.’ Jika ditanya,
‘Apa tujuanmu?’ ia menjawab, ‘Memisahkan seseorang.’”
Ketamakan juga dapat merusak agama. Ketika Ali bin Abi
Thalib mendapati para penutur kisah tengah bercerita banyak hal di Masjid Agung
Bashrah, ia menyuruh mereka berdiri. Kemudian, ia mendatangi Hasan al-Basri
(30-110 H) dan berkata, “Hai anak muda, aku akan menanyakan kepadamu satu hal.
Jika kau mampu menjawabnya dengan tepat, kubiarkan kau di sini. Namun, jika kau
salah, aku akan berdirikan kau seperti teman-temanmu itu.”
Ali memandang Hasan al-Basri. Dilihatnya pada diri pemuda
tersebut tersimpan tanda petunjuk dan kecerdasan.
Hasan al-Basri pun menjawab, #Tanyalah semaumu!”
“Apa gerangan yang menjadi pengendali agama?” Tanya Ali
kepadanya.
Hasan menjawab, “Sifat wara’.”
Ali bertanya lagi, “Apa yang menjadi perusak agama?”
Hasan menjawab, “Sifat tamak.”
Kemudian, Ali berkata, “Duduklah! Orang sepertimu layak
berbicara di hadapan manusia. Wara’ (menjauhi) ketamakan adalah wara’-nya
orang-orang khusus (khawwash). Sikap ini menunjukkan kokohnya keyakinan,
sempurnanya tawakl, dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara’-nya
orang-orang biasa (awam) yang baru sebatas meninggalkan perkara-perkara
syubhat.”
Ibnu Atha’illah al-Iskandari menulis dalam salah satu bait
al-Hikam: “Tak ada yang dapat mengendalikanmu sehebat angan-angan.”
Angan-angan adalah sesuatu yang teramat buruk. Selain karena
merupakan penyebab ketamakan manusia, juga karena angan-angan sebenarnya adalah
perkara yang tidak ada. Ia hanyalah khayalan dan perkiraan. Namun anehnya, jiwa
selalu lebih tunduk kepadanya daripada akal.
Tidakkah kau melihat bahwa tabiat manusia selalu merasa
takut kepada ular karena ia menyangka bahwa ular itu berbahaya. Bahkan, ia
takut bila melihat seutas tali yang melingkar sebab ia mirip dengan ular.
Sekiranya tabiat tunduk kepada akal, tentu ia tidak akan merasa takut karena
segala hal yang ditakdirkan pasti akan terjadi dan yang tidak ditakdirkan pasti
tidak akan terjadi.
Oleh sebab itu, tak seorang pun yang selamat dari ketamakan terhadap makhluk dan apa yang ada di tangan mereka, kecuali para ahli wara’ dari kalangan khawwash. Mereka adalah orang-orang yang selalu qana’ah dan tawakal. Di hati mereka tiada lagi hubungan antarmakhluk. Mereka tidak lagi memedulikan rezeki.
Sumber Gambar: Pinterest/Callighraphy Print