Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitab Raudhatu ath-Thalibin wa ‘Umdatu as-Salikin bahwa tasawuf berarti mencampakkan nafsu dalam ibadah dan menggantungkan hati dengan hal-hal Ilahiah. Ada yang mengatakan, tasawuf adalah menyembunyikan kemiskinan dan melawan penyakit.
Berkaitan dengan hokum seorang sufi, selayaknya kefakiran menjadi perhiasannya, sabar menjadi minumannya, ridha menjadi binatang tunggangannya, dan tawakal menjadi tingkah lakunya.
Hanya Allah swt. yang memberinya kecukupan. Ia gunakan anggota tubuhnya untuk ketaatan. Ia potong syahwat dan bersikap zuhud terhadap dunia, wara’ pada segala jatah nafsu, dan sama sekali tak memiliki keinginan pada dunia.
Jika ia harus mengambil dunia, keinginan tersebut tidak melampaui batas kecukupannya. Hatinya bersih dari noda, sangat mencintai Tuhannya, dan berlari kepada Allah dengan sirri-nya. Segala sesuatu berlindung dan damai bersamanya, tetapi ia sama sekali tidak berlindung kepada sesuatu.
Dalam arti, ia tidak memiliki kecendrungan terhadap apa pun, tidak merasa tenteram bersama apa pun selain sesembahannya, sembari berpegang kepada yang lebih utama dan lebih penting. Ia pun senantiasa lebih berhati-hati dalam urusan agama, dan mendahulukan Allah atas segalanya.
Sahl bin ‘Abdullah berkata, “Seorang sufi adalah orang yang hatinya bersih dari noda-noda dan penuh pikiran. Baginya, taka da bedanya antara emas dan batu.” Ada pula yang mengatakan, “Tasawuf berarti menjernihkan hati dari pertemanan dengan makhluk, meninggalkan akhlak yang biasa, memadamkan sifat-sifat kemanusiaan, melawan ajakan-ajakan nafsu, menetapi sifat-sifat ruhaniah, berpegang kepada ilmu-ilmu hakiki, dan mengikuti syariat Rasulullah saw.”
Seseorang berkata, “Sufi adalah orang yang selalu membersihkan waktu dari noda dengan menyucikan hati dan kotoran nafsu. Sedangkan yang membantunya adalah kefakirannya yang terus-menerus kepada tuannya. Dengan kefakirannya yang terus-menerus, ia mampu mengetahui noda.
Setiap kali nafsu bergerak dan muncul dalam satu perilaku, ia segera mengetahui dengan mata hatinya yang waskita, lalu segera berlari dari nafsu menuju Tuhannya. Dengan selalu membersihkan hati terjadi kesatuan, dan dengan gerak nafsu terjadi perpecahan dan noda. Dia berpijak kepada hati bersama Tuhannya, dan dengan berpijak pada nafsu bersama hatinya. Allah swt. berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.” (QS. al-Maidah {5}: 8)
Baca Buku: Resep Bahagia Imam Ghazali