turos pustaka

Aisyah al-Ba’uniyah, Penyair, Sufi, dan Penulis Perempuan yang Produktif Sebelum Abad ke-20 M Asal Damaskus

Aisyah al-Ba’uniyah adalah sufi perempuan dalam sejarah Islam. Dia dikenal sebagai ahli fikih, mursyid tarekat, penulis, dan penyair sufistik. Satu-satunya karyanya yang telah terbit dalam bahasa Indonesia berjudul Al-Muntakhab fi Ushul ar-Rutab fi ‘Ilm at-Tashawwuf (Menjalin Ikatan Cinta Allah swt).

Guru Besar Sastra Arab Chicago University Amerika Serikat Tahera Qutbuddin mencatat, bahwa Aisyah telah menulis belasan buku sepanjang hidupnya. Termasuk penulis wanita muslim yang produktif sebelum abad ke-20.

Garis keturunan

Nama lengkapnya adalah Aisyah binti al-Qadhi Yusuf bin Ahmad bin Nashir bin Khalifah bin Faraj bin Abdullah bin Yahya bin Abbdurrahman al-Ba’uniyah. Aisyah al-Ba’uniyah merupakan syaikhah yang dikenal sebagai penulis, penyair, dan sufi Damaskus. Namanya disandarkan pada Ba’un, sebuah perkampungan di provinsi Ajlun—sebelah timur Yordania sekarang.

Keluarga al-Ba’uniyah merupakan keluarga ternama, yang banyak meIahirkan para ulama dan hakim (qadhi). Beliau memiliki anak bernama Abdul Wahab, sehingga mendapat julukan Ummu Abdil Wahab. Dan suaminya bernama Ahmad bin Muhammad bin an-Naqib al-Asyraf.

Kelahiran dan Masa Remaja

Aisyah al-Ba’uniyah dilahirkan di Damaskus pada tahun 865 H/1460 M. Ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan ilmu dan warak. Kakeknya, Ahmad bin Nashir (752-816 H/1350-1413 M), merupakan qadhi al-qudhat, yaitu seorang wakil kepala negara yang mengangkat hakim-hakim di daerah.

Ayahnya, Yusuf bin Ahmad (805-880 H/1402-1475 M), seorang hakim (qadhi) di Safed (صفد), Tripoli (طرابلس), Aleppo (حلب), dan Damaskus (دمشق). Kakak dan pamannya termasuk pembesar ulama dalam bidang fikih, hadis, tasawuf, sejarah, dan adab. Sehingga keadaan ini membentuk karakter kepribadian Aisyah menjadi sosok ulama wanita. Tak terkecuali anaknya, Abdul Wahab, kelak menjadi ulama yang berpengaruh.

Di usia 8 tahun yang tergolong belia, Aisyah kecil mampu menghafal al-Quran di luar kepala. Kecerdasannya sudah terlihat semenjak ia berusia dini. Kepada ayahnya, ia  belajar ilmu al-Quran, hadis, fikih, dan sastra.

Pengembaraan Ilmu

Tidak hanya belajar di lingkungan keluarganya saja, Aisyah al-Ba’uniyah turut menyerap ilmu dari ulama-ulama besar Damaskus dengan petunjuk dari ayahnya. Tercatat dia memiliki dua guru spiritual: Jamaluddin Ismail al-Hawrani dan Muhyiddin Yahya al-Umawi yang merupakan ulama sufi dari tarekat Qadiriyah. Aisyah sempat melangkahkankan kaki menuju Mekkah al-Mukarramah (yang dimuliakan), baitullah guna menunaikan rukun Islam yang kelima.

Tidak mencukupkan diri belajar di Damaskus, ibunda Abdul Wahab ini pun mengembara ke Mesir bersama anaknya pada tahun 1513 M. Di negeri ini, beliau mampu menambah dan menyerap banyak ilmu sehingga mendapat otoritas untuk berfatwa dan mengajar. Dalam riwayat lain disebutkan, tujuan beliau ke Mesir untuk menemani anaknya menuntut ilmu.

Pada tahun 1516 M, penyair sekaligus tokoh sufi wanita ini melanjutkan pengembaraan hidupnya ke Aleppo. Kemudian ulama sekaligus penulis wanita itu kembali ke Negeri asalnya, Damaskus, hingga tahun wafatnya, 1517 M.

Guru-Guru

Keluarga Aisyah sendiri berasal dari keluarga ternama, yaitu al-Ba’uniyah, yang banyak melahirkan para hakim (qadhi) dan ulama. Tidak banyak penjelasan tentang pendidikan Aisyah al-Ba’uniyyah, namun guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang bernama Yusuf.

Aisyah al-Ba’uniyah memiliki banyak guru yang membentuk karakter keilmuannya. Dari ayahandanya dan keluarganya, beliau mempelajari al-Quran, hadis, fikih, hingga sastra.

Selain ayahnya, ada beberapa sosok dari saudaranya yang turut membentuk keilmuan Aisyah al-Ba’uniyah, yaitu: Bahauddin Muhammad bin Yusuf al-Ba’uni (857-916 H/1434-1510 M), saudara kandungnya; serta kedua pamannya: Burhanuddin Ibrahim bin Ahmad bin Nashir (777-870 H/1375-1466 M) dan Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Ba’uni.

Selain keluarganya, beliau memiliki banyak guru dari ulama ternama pada masanya. Tercatat Aisyah memiliki dua guru spiritual:  Jamaluddin Ismail al-Hawrani dan Muhyiddin Yahya al-Umawi yang merupakan ulama sufi dari tarekat Qadiriyah.

Karya-Karya

Berapa jumlah karya Aisyah al-Ba’uniyah tidak diketahui secara pasti, tetapi ada yang menyatakan berjumlah lebih dari 15 buku. Beberapa karyanya banyak yang hilang.

Namun begitu, berikut ini merupakan beberapa karya beliau yang saat ini dapat ditemukan naskahnya:

  1. الفتح المبين في مدح الأمين
  2. ديوان الباعونية
  3. درر الغائص في بحر المعجزات والخصائص
  4. فيض الفضل و جمع الشمل
  5. المورد الأهنى في المولد الأسنى
  6. المنتخب في أصول الرتب (Menjalin Ikatan Cinta Allah swt.)
  7. القول الصحيح في تخميس بردة المديح
  8. تشريف الفكر في نظم فوائد الذكر

Wafat

Pada hari senin, Aisyah al-Ba’uniyah mengembuskan nafas terakhirnya. Tepatnya pada tanggal 16 Dzulqa’dah tahun 923 H yang bertepatan pada 5 Desember 1517 M di Damaskus.

Untuk mengetahu biografi syekhah Aisyah al-Ba’uniyah lebih detail, Anda bisa merujuk pada kitab: Al-A’lam (karya Syekh Khairuddin az-Zirakli), al-Kawakib as-Sairah (karya Najmuddin al-Ghazi), Syadzaratu adz-Dzahab fi Akhbari man Dzahaba (karya Ibnu ‘Imad al-Hambali), dan lain-lain.

Salam Literasi Indonesia

Aisyah al-Ba’uniyah, Penyair, Sufi, dan Penulis Perempuan yang Produktif Sebelum Abad ke-20 M Asal Damaskus Read More »

Sifat dan Sebab Terjadinya Taun dan Hubungannya dengan Wabah dalam Kitab Fikih Pandemi Zakaria al-Anshari

Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam mengutip salah satu perkataan Imam an-Nawawi tentang bentuk penyakit taun.

Dalam kitabnya Tahdzîb al-Asmâ` wa al-Lughât Imam an-Nawawi mengatakan bahwa taun adalah penyakit yang sudah diketahui masyarakat umum, berupa bengkak yang terasa sangat sakit.

Penyakit itu muncul disertai bisul atau borok dengan kulit menghitam di sekelilingnya, atau berubah menghijau atau memerah, diiringi jantung yang berdebar-debar serta muntah-muntah.

Luka-luka yang muncul akibat penyakit ini biasanya muncul di daerah marâq (bagian bawah perut) dan ketiak; pada bagian tangan dan jemari; serta seluruh badan.

Dalam kitab ar-Raudhah, Imam an-Nawawi menyatakan, “Sebagian ulama menafsirkan taun sebagai penyakit yang menghambat peredaran darah menuju berbagai anggota tubuh. Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa taun ialah penyakit bengkak dan pendarahan.”

Masih dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, Abu Ali bin Sina dan beberapa tabib terkemuka lainnya mengemukakan bahwa taun adalah zat beracun yang dapat menyebabkan bengkak atau tonjolan mematikan.

Taun terjadi di bagian tubuh yang lembek dan di daerah maghâbin (ketiak, saluran kemih, paha, dsb.) dari tubuh manusia. Yang paling sering terserang adalah daerah ketiak, belakang telinga, atau batang hidung.

Ibnu Sina menyatakan, “Semua itu terjadi disebabkan darah kotor kemudian berubah menjadi zat beracun yang akan merusak anggota tubuh tertentu dan bagian lain di dekatnya. Kelak akan mencapai jantung dan mengganggu kinerjanya, sehingga menyebabkan terjadinya muntah, pingsan, dan jantung berdebar. Kondisi inilah yang kemudian disebut dengan istilah wabah (waba`), dan sebaliknya.

Ibnu Sina juga mengatakan, “Wabah adalah rusaknya materi udara yang merupakan bahan pembentuk roh dan penopangnya.” Itulah sebabnya, kehidupan makhluk hidup mana pun tidak dapat terjadi tanpa adanya proses penghirupan udara.

Pendapat yang serupa dengan pendapat Ibnu Sina di atas ialah pendapat Alauddin bin Nafis yang menyatakan bahwa wabah muncul dari kerusakan yang dialami materi-materi pembentuk udara, baik yang datang dari langit maupun dari bumi, seperti komet dan meteor yang jatuh pada akhir musim panas, atau air yang warna dan baunya sudah berubah, serta air yang banyak bangkainya.

Sementara itu, menurut Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, kata taun lebih khusus artinya daripada kata wabah.

Perbedaannya tampak jelas dari pernyataan Ibnu Sina berdasarkan hadis dalam ash-Shahîhain (kitab Shahîh al-Bukhâri dan kitab Shahîh Muslim), yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa di gerbang-gerbang kota Madinah ada para malaikat sehingga ia tidak dapat dimasuki taun dan tidak pula dajal.

Dalam kedua kitab itu juga disebutkan sebuah hadis dari Aisyah ra. beriwayat,

“Kami mendatangi Madinah ketika ia merupakan bagian bumi Allah yang paling berwabah.” (al-Hadis)

Di dalamnya, terdapat perkataan Bilal ra., “Wahai Allah, kutuklah Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebab mereka mengusir kami dari tanah kami (Makkah) ke tanah wabah (Madinah).”

Jika memang kata thâ’ûn (taun) di atas berarti wabah, berarti kedua hadis tersebut saling bertentangan. Akan tetapi, kedua hadis itu tidak kontradiktif karena pengertian taun lebih sempit daripada wabah.

Karena kata wabâ` yang dapat ditulis panjang (dengan alif:وَبَاء ) dan dapat juga pendek (tanpa alif: وَبَأ) yang berarti “penyakit yang menyerang banyak orang” (مَرَضٌ عَام).

Sedangkan taun merupakan “serangan jin” yang para tabib tidak mampu mengobatinya, sampai-sampai para tabib paling pintar pun menyatakan bahwa tidak ada obat bagi taun.

Pernyataan di atas tidak bertentangan dengan pernyataan para tabib perihal taun muncul dari zat beracun atau menguatnya aliran darah ke anggota tubuh tertentu, atau terjadi disebabkan rusaknya udara, atau berbagai sebab lainnya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, hal ini bisa terjadi karena tidak menutup kemungkinan bahwa semua itu terjadi akibat adanya serangan tak kasat mata (dari makhluk jin) yang akan menyebabkan munculnya zat beracun atau naiknya tekanan darah.

Apabila memang taun terjadi disebabkan rusaknya udara, maka pernyataan itu menjadi gugur. Sebab, ternyata taun juga terjadi pada musim-musim paling stabil dan di negeri-negeri yang kondisi udaranya paling baik.

Selain itu, masih dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, apabila memang penyebab taun adalah udara, maka semestinya taun akan mengenai semua makhluk hidup dan seluruh bagian tubuh, tetapi ternyata tidak demikian yang terjadi, seperti yang dapat dilihat. Dan Allah Mahatahu.

Salam Literasi Indonesia.

Sifat dan Sebab Terjadinya Taun dan Hubungannya dengan Wabah dalam Kitab Fikih Pandemi Zakaria al-Anshari Read More »

Zakaria al-Anshari, Syaikhul Islam Abad ke-15 M, Pengarang Kitab Lubbul Ushul dan Tuhfah ar-Raghibin (Fikih Pandemi dalam Islam)

1. Garis Keturunan

garis keturunan

Nama lengkapnya adalah Zainuddin Abu Yahya Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari, seorang hakim (qadhi) sekaligus ulama mazhab Syafi’i dalam bidang tafsir, fikih, dan hadis. Beliau merupakan salah satu ulama yang memiliki andil di dalam kodifikasi ilmu Islam sehingga ia dijuluki dengan Syaikhul Islam.

2. Kelahiran

kelahiran

Zakaria al-Anshari dilahirkan di Mesir, tepatnya di Desa Sunaikah, Mesir Timur pada tahun 823 H/1420 M. Masa kecil beliau penuh dengan keprihatinan, karena ayahnya meninggal dunia ketika ia masih balita sehingga Zakaria kecil hidup hanya bersama ibunya.

Diceritakan dari Syekh Shalih ar-Rabi’ bin Abdullah as-Sulami bahwa suatu ketika Syekh Shalih ar-Rabi’ berkunjung ke Desa Sunaikah, kampung halaman Zakaria. Di Desa tersebut, beliau mendapati seorang wanita yang meminta pekerjaan kepadanya untuk kebutuhan keluarganya. Wanita itu tidak lain adalah ibunda Zakaria.

Kemudian ibu Zakaria menitipkan anaknya kepada Syekh Shalih ar-Rabi’ untuk memenuhi kebutuhan belajarnya. Diceritakan bahwa Ibu Zakaria meminta Syekh Shalih untuk membawa Zakaria ke Kairo, supaya dapat menimba ilmu.

Syekh Shalih berkata, “Jika ibu setuju, akan kubawa Zakaria ke al-Azhar untuk membantu pekerjaan sekaligus belajar di sana. Saya akan menanggung kehidupannya.”

Sang ibu pun menyetujuinya demi kebaikan masa depan putranya.

3. Pengembaraan Keilmuan

pengembaraan keilmuan

Semasa di Sunaikah, Zakaria kecil sudah mahir membaca dan menghafal al-Quran, serta mempelajari kitab ‘Umdatul Ahkam dan Mukhtashar at-Tabrizi.

Pada tahun 841 H/1437 M, beliau pergi ke kota Kairo dan belajar di al-Azhar Kairo. Bakat menghafalnya kemudian berlanjut ketika ia menimba ilmu di sini. Dalam rentang waktu yang relatif pendek, Zakaria muda telah menghafal al-Quran dan beberapa kitab, seperti Alfiyah ibnu Malik, al-Minhaj, asy-Syathibiyah, dan lainnya.

Di tengah pengembaraan ilmu yang pertama ini, Zakaria muda sempat pulang ke kampung halamannya untuk bekerja. Namun, beberapa waktu kemudian, ia kembali ke Kairo melanjutkan penggalian ilmu.

Pada masa pengembaraan yang kedua ini, Zakaria al-Anshari mempelajari hampir semua kitab dalam berbagai macam cabang keilmuan, termasuk matematika, seni menulis indah, dan ilmu retorika. Tidak heran jika kemudian guru-gurunya memberikan pujian dan ijazah keilmuan padanya.

Lebih dari 150 ijazah telah diberikan kepadanya, termasuk ijazah dari Ibnu Hajar al-Asqalani, yang menuliskan kata-kata dalam ijazahnya, “Aku izinkan bagi Zakaria untuk membaca al-Qur’an dengan jalur periwayatan yang ia tempuh, dan mengajarkan fikih yang telah dituliskan dan diserahkan al-Imam asy-Syafi’i. Kepada Allah, kami, aku, dan Za¬karia, memohon pertolongan untuk ke¬lak dapat bersua dengan-Nya.”

Pada tahun 850 H/1446 M, beliau meninggalkan Mesir menuju Hijaz untuk menunaikan Ibadah Haji. Di sana, beliau bertemu dengan beberapa Ulama dan belajar kepada mereka, khususnya ilmu hadis, di mana beliau mendapatkan ijazah dengan sanad yang ‘aly dan langka.

Di antara ulama yang memberikan ijazah kepada beliau adalah as-Syarof Abu al-Fath al-Maroghi. Beliau juga bertemu dengan Ibnu Fahd dan dua hakim (Qadhi), Abu al-Yaman an-Nuwairy dan Abu as-Sa’adat Ibnu Zahirah.‎

4. Guru-guru

guru-guru

Imam Zakaria al-Anshari memiliki lebih dari 150 guru yang sangat mempengaruhi dalam keilmuannya. Semua gurunya sangat menguasai dan menonjol di beberapa bidang keilmuan masing-masing. Di antaranya adalah:

• Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengajarkan ilmu hadis, fikih, dan ushul;
• Muhammad bin ar-Rabi dan al-Burhan al-Faqusi al-Bulaisi yang membimbing bacaan al-Qur’an hingga menghafalnya;
• Imam Zainuddin Abu an-Na’im Ridhwan bin Muhammad al-Uqbi asy-Syafi’i yang mengajarkan Qira’at Sab’ah, kitab musnad Imam Syafi’i, Shahih Muslim, Sunan Nasa’i dan lainnya;
• Abu al-Abbas Ahmad bin Ali al-Intikawi, Abu al-fatah Muhammad bin Ahmad al-Ghazi, Abu Hafsah Umar bin Ali, Ahmad Bin Ali ad-Dimyathi, Abu al-Farah Abdurrahman Bin Ali at-Tamimi, dan Syekh Muhammad Bin Umar al-Wasithi al-Ghamri. Mereka semua adalah guru beliau di bidang tasawuf.

5. Murid-murid

murid

Murid-murid Zakaria al-Anshari sangat banyak. Mereka menyebar di berbagai daerah seperti Hijaz, Syam dan kota lainnya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah:

• Ibnu Hajar al-Haitami, pengarang kitab Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj
• Abdul Wahab asy-Sya’rani, dikenal dengan nama Imam asy-Sya’rani
• Syamsuddin ar-Ramli, pengarang kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhi al-Minhaj
• Al-Khatib asy-Syarbini, pengarang kitab Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj
• Nuruddin al-Mahalli
• Badruddin al-Ghazi
• Muhammad bin Ahmad al-Hashkafi
• Badaruddin Hasan bin Muhammad ash-Shafadi.

6. Karya-karya

karya-karya

Tercatat lebih dari 50 karya tulis yang telah beliau tinggalkan. Di antaranya ialah:

• (لُبُّ الْأُصُوْل)
• (إعْرَابُ اْلقُرَآنِ الْعَظِيْم)
• (أَدَبُ القَاضِي عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الشَّافِعِي)
• (الدُّرَرُ السّنية على شرح الألفية [حاشية على شرح ألفية ابن مالك])
• المطلع شرْح إيْسَاغُوْجِي))
• (أسْبَابُ الْمَوْجُوْدَات)
• (تَلْخِيْص أَسْئِلَة اْلقُرْآنِ وَأَجْوِبَتِها لِأَبِي بَكْر الرَّازِي صاحب مختار الصحاح)
• فَتْحُ اْلوَهَّاب بِشَرْحِ مِنْهَجِ الطُّلَّاب))
• (فَتْحُ رَبِّ اْلبَرِيَّة بِشَرْحِ الْقَصِيْدَة الخزرجية)
• (فَتْحُ الرَّحْمَان)

•تُهْفَةُ الرَّاغِبِيْن فِي بَيَانِ عَمْرِ الطَّوَاعِيْنَ (Fikih Pandemi dalam Islam)

7. Wafat

wafat

Zakaria al-Anshari wafat pada tanggal 4 Zulhijah 926 H/27 November 1520 M dalam usia 100 tahun lebih, dan dikebumikan di kota Qarafah, Kairo dekat makam Imam asy-Syafi’i. Selama itu, hidupnya diisi penuh dengan ilmu, pendidikan, dakwah, dan mengajar, hingga ia diuji dengan kebutaan mata sebelum akhirnya meninggal dunia.

 

Salam Literasi Indonesia

Zakaria al-Anshari, Syaikhul Islam Abad ke-15 M, Pengarang Kitab Lubbul Ushul dan Tuhfah ar-Raghibin (Fikih Pandemi dalam Islam) Read More »

Umar Khayyam, Matematikawan, Astronom, dan Penyair Utama dari Tradisi Keilmuan Islam

Nama dan Kepribadian

Nama dan Kepribadian Umar Khayyam

Nama lengkapnya adalah Ghiyāts ad-Din Abulfatah ‘Umar bin Ibrahim Khayyāmi an-Naisābūri, dikenal dengan nama Umar Khayyam. Secara bahasa, “khayyam” berarti “pembuat tenda”. Dinamakan dengan sebutan itu, karena ayahnya, Ibrahim, berprofesi sebagai pembuat tenda. Umar Khayyam sejatinya merupakan seorang penyair besar dan ilmuwan muslim yang menguasai matematika, filsafat, dan astronomi. Karena kelebihannya, ia dijuluki sebagai matematikawan, astronom, dan penyair utama dari tradisi keilmuan Islam.

Umar Khayyam juga mewariskan metode ilmiah dan sastra yang berpengaruh di dunia, sehingga diberi julukan “Hujjatul Haq” (pembela kebenaran), dan dia membagi para pencari kebenaran menjadi empat golongan.

Pertama, golongan yang puas dengan argumen logis. Kedua, filsuf yang mendasarkan diri pada penalaran murni, namun gagal memelihara kepentingan logika. Ketiga, golongan yang berpandangan bahwa pengetahuan dan sifat tuhan terlalu pelik dan sulit untuk dipahami, sehingga menganjurkan untuk mendengar fatwa dari orang yang lurus. Keempat, kaum sufi, yakni golongan yang mengunggulkan pemurnian hati dan perbaikan moral yang dinilai sebagai jalan yang terbaik untuk mencapai Tuhan.

Abu al-Qasim Mahmud Umar az-Zamakhsyari menyebutnya sebagai “the philosopher of the world” (filsuf dunia).

[irp]

Kelahiran dan Pengembaraan Ilmu

kelahiran dan pengembaraan ilmu Umar Khayyam

Umar khayyam lahir pada tahun 439 H/1048 M di Naisabur, Khurasan, Iran. Khayyam kecil tinggal di kota Naisabur yang merupakan pusat keilmuan di Persia kala itu. Sejak kecil, Umar Khayyam sudah memperoleh pendidikan yang baik dari orang tuanya.

Salah seorang gurunya adalah imam Muwaffak Naisaburi, seorang pendidik yang terkenal dan tersohor pada masa itu. Di kota kelahirannya ini, ia mendalami berbagai macam ilmu agama, filsafat, matematika, dan astronomi hingga akhirnya dia mengembara ke kota Bukhara pada tahun 460 H/1068 M.

Di kota (Bukhara) ini ia habiskan waktunya dengan mengunjungi perpustakaan al-Falak al-Marmuqah. Kemudian pada tahun 462 H/1070 M, dia berpindah ke kota Samarkand, Uzbekistan. Di sana, Umar Khayyam mendapat bantuan dari Abu Thahir, ketua para hakim sekaligus ahli hukum terkemuka di Samarkand, sehingga hal ini memungkinkannya untuk menulis karyanya yang paling terkenal, yaitu risalah tentang demonstrasi perihal al-Jabar.

Pada tahun 1073 M, Malik Syah, penguasa Isfahan, mengundang Khayyam untuk membangun dan mengelola sebuah observatorium di Isfahan bersama-sama dengan astronom terkemuka lainnya, seperti Abu al-Muzaffar Isfazari, Maimun ibn Najib al-Wasithi, dan Abdu ar-Rahman Khazeni di bawah arahan Umar Khayyam.

Misinya ialah mereformasi kalender matahari tua Persia, yang telah digantikan oleh kalender hijriah. Menurut perhitungan Umar Khayyam, masa satu tahun adalah 365,24219858156 hari. Dan di sinilah mula-mula Khayyam menggali dan mempelajari karya Euklides dan Apollonius.

Setelah meninggalnya Malik Syah dan menterinya, Umar Khayyam sempat meneruskan pekerjaannya sebelum akhirnya diberhentikan oleh pengganti sultan Malik Syah (ada yang mengatakan bahwa penggantinya tersebut adalah sultan Ahmad Sanjar). Hal ini mendorong dirinya meninggalkan kota kelahirannya, Naisabur, dan mengembara ke berbagai negeri untuk meningkatkan diri sebagai ilmuwan.

Dalam pengembaraannya itu, dia sempat menunaikan ibadah haji ke kota Mekkah. Seusai masa pengembaraannya, Umar Khayyam kembali ke Naisabur dan menghabiskan masa tua di kampung halamannya itu.

Sebagai pujangga, nama Umar Khayyam dikenal dengan syair ruba’iyyat-nya yang kemudian banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Yang paling kesohor ialah rubaiyat yang dialihbahasakan ke dalam bahasa inggris oleh Edward Fitz Gerrald (penulis Inggris tahun 1859) dengan judul “The Rubaiyat of Omar Khayyam”. Friedrich Von Bodenstedt (1819) menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman.

Guru-guru

Umar Khayyam tercatat memiliki banyak guru yang pakar dalam berbagai bidang keilmuan. Di antara guru-gurunya ialah:

• Syekh Muhammad Manshuri, padanya Umar Khayyam belajar al-Quran, tata bahasa, sastra, ilmu agama, dan lainnya.
• Abu al-Hasan Bahmaniar bin Marzaban, murid terdekatnya Ibnu Sina.
• Khawjah al-Anbari, yang mengajarinya ilmu falak (astronomi).
• Muwaffaq Naisaburi, seorang guru yang hanya mengajar anak-anak unggulan, dan dia merupakan filsuf istana yang mengajari anak-anak bangsawan.

Murid

Dengan keluasan ilmunya, Umar Khayyam memiliki banyak murid yang terkenal pada zamannya. Tidak diketahui pasti berapa jumlah seluruh muridnya. Namun, beberapa muridnya yang menonjol antara lain:

• Ahmad al-Ma’muri al-Bayhaqi
• Muhammad Ilaqi
• Imam Muhammad Baghdad
• Nizami Arudi as-Samarqandi
• Abu al-Ma’ali Abdullah ibn Muhammad al-Miyanji, juga dikenal Ain al-Qudhat Hamadani.
• Muhammad Hijazi Qa’ni.

[irp]

Karya-karya

Karya - karya Umar Khayyam

Selain karya syairnya yang dikenal dunia bertajuk “rubaiyat Omar Khayyam”, dia juga memiliki banyak karya tulis yang mempunyai andil dalam menyumbang kemajuan ilmu modern saat ini. Di antaranya ialah:

• رِسالَة فِي الْمُوْسيْقي
• تَعْبِيْر الْمَنَام
• مَقالة فِي الْجَبْرِ وَالْمُقابَلة
• رِسالَة الْخَيّام الجَبَرِيَّة
• رِسالة في الْكَوْن وَالتَّكْلِيْف
• مِيْزانُ الْحُكْم
• شَرْحُ مَا أشْكَلَ مِنْ مُصَدَّرات كِتاب أقليدس
• الْإحْتِيال لِمَعْرِفَةِ مِقْدَارَيْ الذَّهَب وَالْفِضَّة في جِسْم مُرَكَّب مِنْهُما

Wafat

Wafat Umar Khayyam

Pada umur yang ke 83, Umar Khayyam Rahimahullah mengembuskan nafas terakhirnya pada tahun 526 H/1131 M di Naisabur, Iran. Dia dimakamkan di sebuah tempat yang telah diprediksi sebagai pusaranya di dalam syairnya, yakni di sebuah taman di mana angin utara menebarkan bunga-bunga mawar di atasnya. Dan sekarang, tempat itu dikenal dengan sebutan pemakaman Umar Khayyam.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

Umar Khayyam, Matematikawan, Astronom, dan Penyair Utama dari Tradisi Keilmuan Islam Read More »

Waspadalah! Ini 3 Kesulitan yang Bisa Menimpa Seseorang yang Menikah menurut Imam al-Ghazali

Pernikahan merupakan upaya untuk merawat agama dan melemahkan tipu-daya setan. Pernikahan adalah benteng kokoh para hamba dalam menghadapi musuh Allah.

Pernikahan juga salah satu cara untuk memperbanyak jumlah umat Islam. Di akhirat kelak Rasulullah saw. akan membanggakan hal tersebut di hadapan para nabi.

Pernikahan memang memiliki posisi yang mulia dalam Islam, tapi ia juga memiliki banyak rintangan. Imam al-Ghazali mencatat setidaknya akan ada 3 kesulitan yang bisa menimpa seseorang yang menikah. Apa saja?

[irp posts=”13634″ name=”Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali”]

1. Mencari Nafkah yang Halal

Mencari Nafkah yang Halal

Kesulitan pertama ini merupakan yang paling sulit dari ketiganya, yaitu soal sulitnya mencari nafkah yang halal. Mencari pekerjaan tidak mudah bagi semua orang, apalagi pada saat banyak terjadi krisis ekonomi.

Menikah bisa menjadi faktor yang menyebabkan semakin meluasnya usaha untuk mendapatkan nafkah melalui jalan yang haram, dan hal ini justru dapat mencelakakan diri dan keluarga.

Orang yang membujang bisa aman dari hal ini. Umumnya orang yang menikah, mereka turut serta pada usaha-usaha yang buruk karena ia mengikuti hawa nafsu sang istri, hingga akhirnya ia menjual akhirat untuk kepentingan dunia.

Seorang ulama salaf pernah berkata, “Jika Allah menghendaki keburukan pada seorang hamba, maka Allah akan menimpakan kepadanya taring-taring yang menggigitnya.” Maksudnya adalah keluarganya. Rasulullah saw. bersabda,

“Seseorang tidak akan bertemu Allah dengan suatu dosa yang lebih besar dari kebodohan keluarganya.” (HR. Abu Manshur)

Ini merupakan tantangan, dan hanya sedikit orang yang dapat lolos dari tantangan ini. Mereka adalah orang yang memiliki harta warisan keluarganya, atau ia melakukan pekerjaan halal yang mencukupi diri dan keluarganya serta memiliki rasa qana’ah (merasa cukup) yang dapat menghalangi dirinya dari mendapatkan mencari harta riba. Demikian ini dapat menyelamatkan mereka dari malapetaka.

[irp posts=”13677″ name=”Catat Baik-baik! Ini 5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali”]

2. Tidak mampu memenuhi hak-hak para istri dan tidak mampu bersabar atas akhlak mereka.

Tidak mampu memenuhi hak-hak para istri dan tidak mampu bersabar atas akhlak mereka

Ada kemungkinan seorang lelaki akan disakiti oleh mereka. Ini berbeda dengan kesulitan pertama dari sisi umumnya kejadian karena kemampuan untuk mengatasi hal ini lebih ringan daripada mengatasi kesulitan pertama.

Memperhalus sikap terhadap istri dan memenuhi hak-haknya lebih mudah daripada mencari yang halal. Akan tetapi, dalam hal ini juga terdapat bahaya karena suami adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya.

Rasulullah saw. bersabda,
“Seseorang sudah dikatakan berdosa ketika ia mengabaikan hak-hak orang yang menjadi tanggungannya.”

Orang yang melarikan diri dari tuntutan keluarganya sama derajatnya dengan seorang budak yang melarikan diri, Allah tidak menerima shalat dan puasanya hingga ia kembali kepada mereka. Barang siapa yang tidak mampu memenuhi hak-hak keluarganya, walaupun ia ada di tengah-tengah mereka, maka ia sama kedudukannya dengan budak yang melarikan diri.

Yang sering terjadi yaitu lelaki itu bodoh, kasar, egois, sembrono dan berakhlak buruk, tidak mengindahkan suatu tuntutan dengan penuh perhatian. Dengan keadaan seperti ini jelaslah menambah kerumitan dalam berumah tangga, dan kerusakan itu dapat dipastikan. Maka untuk orang seperti ini, tidak menikah adalah lebih baik.

[irp posts=”7673″ name=”Mana yang Lebih Utama menurut Imam al-Ghazali, Ilmu atau Ibadah?”]

3. Melalaikan Allah swt. dan menjerumuskannya mencari dunia.

Melalaikan Allah swt. dan menjerumuskannya mencari dunia

Kesulitan ini lebih mudah daripada kesulitan pertama dan kedua, yaitu keberadaan istri dan anak yang menjadikan seseorang sibuk hingga melalaikan Allah swt. dan menjerumuskannya mencari dunia.

Ia mengatur keuangannya sebisa mungkin guna memberi nafkah keluarganya, dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya menabung demi mereka, mencari kemewahan dan kebanggaan demi mereka. Dan sesuatu yang menyebabkan lalai kepada Allah, berupa istri, harta dan anak maka itu merupakan kesialan bagi siapa pun yang melakukannya.

Yang dimaksud di sini bukanlah bahwa kesulitan ini mengajak kepada perkara yang dilarang karena yang demikian masih termasuk bencana pertama dan kedua, tetapi bahwa hal itu akan menggiring seseorang bersenang-senang dengan yang mubah, berlebihan memanjakan istrinya, ingin selalu bercengkerama dan bersenang-senang dengan mereka, hingga hidupnya dipenuhi berbagai kesibukan, akhirnya hatinya terfokus kepada dunia.

Tidak ada waktu yang tersisa siang dan malam untuk sekadar bertafakur tentang kehidupan akhirat juga mempersiapkan diri untuknya.

Oleh karena itu Ibrahim bin Adham berkata, “Barang siapa yang terbiasa mengikuti wanita maka ia tidak bisa mendatangkan suatu apa pun darinya.”

Ketentuan ini berpulang pada masing-masing individu untuk menetapkan mana yang lebih baik baginya, apakah menikah atau membujang. Semuanya mutlak kembali ke tiap-tiap orang untuk memperhatikan perkara-perkara ini. Semua manfaat dan mudaratnya harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan perenungan.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

Waspadalah! Ini 3 Kesulitan yang Bisa Menimpa Seseorang yang Menikah menurut Imam al-Ghazali Read More »

Panduan Lengkap Belajar Bahasa Arab: Bagaimana mempelajari Ilmu Nahwu secara Mendalam dengan Bahasa yang Mudah Dipahami?

Mengapa belajar bahasa Arab dianggap sulit? Lebih sulit dari belajar bahasa lainnya. Bahkan pada banyak orang, sudah menyerah sebelum memulai. Ia dianggap sebagai salah satu bahasa tersulit di dunia. Ada belasan juta kosa kata di dalamnya.

Tentu saja ini stigma yang keliru dan harus diluruskan. Di sisi lain, di era globalisasi ini bahasa Arab justru makin eksis, semakin banyak dipakai, bahkan mengalami perkembangan yang signifikan di negara-negara non-Arab.

Potensi dan pengembangan bahasa Arab dalam berbagai bidang kehidupan semakin besar dan semakin menjanjikan. Buktinya, banyak orang non-Arab dan sarjana non-muslim yang menekuninya, dan bisa. Soal tujuan dan mindset menjadi kunci pembeda di sini.

Didorong keinginan untuk menjawab persoalan di atas, buku Panduan Lengkap Belajar Bahasa Arab Ilmu Nahwu ini pun akhirnya disusun dan diterbitkan. Lengkap, sistematis dan bisa dipelajari secara otodidak. Buku ini sangat layak menjadi referensi pustaka bagi para pelajar/santri, mahasiswa, guru/dosen, dan profesional yang ingin mendalami bahasa Arab secara baik.

Sesuai judul aslinya, mulakkhash qawa’id al-lughah al-arabiyyah, buku karya pakar bahasa Arab asal Mesir ini merupakan ringkasan dari kaidah-kaidah tata bahasa Arab yang disajikan secara praktis dan mudah dipelajari disertai penjelasan mengenai setiap persoalan dengan contoh dan tabelnya.

[irp]

Ilmu Nahwu dan Pesantren

Seperti halnya grammar dalam bahasa Inggris, ilmu nahwu adalah disiplin ilmu yang wajib dipelajari bagi para murid, khususnya di pesantren. Ilmu nahwu merupakan tangga awal untuk mendalami ilmu bahasa Arab. Sebab berbagai disiplin ilmu agama semisal, al-Quran, hadis, fikih, dan lainnya menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya.

Dalam hal ini, Umar bin Khathab pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena sesungguhnya ia bagian dari agamamu”. Dengan demikian, memperdalam ilmu nahwu sama dengan membuka pintu gerbang khazanah keilmuan Islam.

Dalam tradisi pesantren, kitab Jurumiah, Imrithi, Nadzam al-Maqshud, dan Al-Fiyah ibn Malik merupakan kitab induk dan referensi dalam ilmu ini. Namun, jangankan khalayak umum, kalangan santri pun masih banyak yang merasa kesulitan dalam memahami kitab-kitab di atas.

Bukan karena penyampaian penulis yang rumit, tapi memang untuk memahami disiplin ilmu yang satu ini membutuhkan berbagai metode dan kesungguhan yang berkelanjutan. Bahkan, terkadang penyampaian dari pengajar—tidak menggunakan istilah yang berhubungan dengan gramatika bahasa Indonesia—yang secara tidak sadar menambah kesulitan bagi para pelajar.

Kitab-kitab rujukan ilmu nahwu tersebut memang didesain untuk pelajar bangsa Arab kala itu, atau orang—non Arab—yang sudah berkecimpung dengan bahasa Arab. Dan, mungkin ini salah satu yang memberikan kesan sulit bagi banyak orang, tak terkecuali bagi orang Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan buku yang memang didesain untuk warga Indonesia secara khusus.

Buku Panduan Lengkap Belajar Bahasa Arab Otodidak ini dapat menjadi pegangan bagi pemula ataupun pengajar bahasa Arab. Diterjemahkan dari kitab Mulakhash qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyah, karya Fuad Nikma, sang pakar bahasa Arab berkebangsaan Mesir.

[irp]

Kelebihan buku Panduan Lengkap Belajar Bahasa Arab Otodidak

Walaupun bahasa arab memiliki perbedaan dengan bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, tapi persamaannya pun terhitung banyak. Persamaan inilah yang hampir tidak dibahas dalam buku lain.

Dalam buku ini, selain arti leksikal, bukan hanya istilah tata bahasa arab (nahwu) saja yang disebutkan, tapi istilah dalam gramatika Indonesia pun turut disandingkan di setiap pembahasan.

Sebagai contoh, dalam pembahasan istilah fi’il dalam bahasa Arab, disebutkan arti leksikalnya, yaitu “pekerjaan”, lalu disebutkan pula dalam istilah gramatika Indonesia sebagai “kata kerja”; dan seterusnya dalam setiap pembahasan lain.

Hal seperti inilah yang jarang sekali ditemukan dalam buku-buku Nahwu. Padahal, hal yang demikian akan sangat membantu dan sangat menunjang pemahaman si pelajar. Ada ungkapan yang menyatakan:
“Dengan menggunakan persamaan, suatu pembahasan menjadi jelas.”

Tidak berhenti di situ, jika kita tidak menemukan dalam kitab Jurumiah dan ‘Imrithi mengenai bab yang ada dalam kitab al-Fiyah ibnu Malik, berbeda halnya dengan buku ini yang mencakup pembahasan sebagaimana kandungan bab dalam kitab al-Fiyah ibnu Malik.

Misalkan saja beberapa bab uslub (pola kalimat) dalam ilmu nahwu:
1. Pola kalimat pujian (Uslub Madh) dan celaan (dzamm);
2. Pola kalimat takjub (Uslub Ta’ajjub);
3. Polan kalimat pengkhususan (Uslub Ikhtishash);
4. Pola kalimat bujukan dan peringatan (Uslub Ighra` dan Tahdzir);
5. Pola kalimat permohonan (Uslub Istighatsah);
dan sebagainya.

Karena kitab Jurumiyah dan ‘Imrithi terhitung sebagai pegangan bagi tingkat pemula, pembahasan bab di atas memang tidak terdapat di kedua kitab tersebut, hanya ada di kitab al-Fiyah ibnu Malik. Kemudian buku ini pun ikut serta membahasnya, bahkan penjelasannya sangat gamblang dan mudah dipahami.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

Panduan Lengkap Belajar Bahasa Arab: Bagaimana mempelajari Ilmu Nahwu secara Mendalam dengan Bahasa yang Mudah Dipahami? Read More »

Catat Baik-baik! Ini 5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Oleh karena itu, ia harus dipikirkan matang-matang. Namun, tak jarang karena terlalu banyak berpikir, seseorang tak kunjung mengajak kekasih hatinya ke pelaminan.

Umumnya keraguan yang muncul untuk tidak segera menikah ini disebabkan oleh perasaan khawatir yang berlebih. Entah itu karena masalah perekonomian, pihak keluarga calon pasangan, usia yang dirasa belum matang, maupun hal lainnya.

Padahal dengan menikah, kita akan mendapatkan banyak keuntungan. Menurut Imam al-Ghazali, menikah bisa mendatangkan lima keuntungan. Apa saja?

[irp]

1. Mendapatkan Anak

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Ini adalah manfaat sekaligus tujuan utama dari pernikahan, yaitu melanggengkan keturunan sehingga alam semesta tidak pernah kosong dari makhluk yang bernama manusia.

Untuk itu, Allah menciptakan syahwat pada diri manusia, yang disimbolkan dengan keluarnya benih dari laki-laki, sedangkan perempuan bertugas mengelola benih yang telah ditabur di ladang itu.

Inilah bentuk kasih sayang Allah yang ditunjukkan kepada keduanya dalam mengatur tatanan kehidupan, dengan memperanak-pinakkan mereka melalui hubungan intim, sebagaimana kasih sayang-Nya terhadap burung ketika terbang mencari biji-bijian untuk dibawa ke sarangnya.

Kekuasaan Allah yang tanpa batas dalam menciptakan manusia itu pada dasarnya tidak terbatas oleh proses perkawinan saja, bahkan tanpa proses tersebut Allah swt. mampu menciptakan makhluk apapun. Akan tetapi, dengan hikmah kebijaksanaan Allah telah menjadikan segala sesuatu harus berdasarkan pada prinsip sebab akibat.

2. Membentengi diri dari godaan setan.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Menghilangkan kecemasan, membentengi diri dari bahaya-bahaya syahwat dan menjaga kehormatan merupakan keuntungan lain yang bisa didapat karena menikah—sebagaimana sabda Nabi saw sebelumnya, “Barang siapa yang menikah maka sesungguhnya ia telah membentengi setengah agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengah bagian lainnya.”

Dalam sabda beliau yang lain, “Hendaklah kalian mencari kebutuhan hidup, bagi siapa yang tidak bisa maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa baginya dapat meredakan gejolak syahwat.”

Banyak atsar dari shahabat yang sudah disampaikan sebelumnya mengisyaratkan pemahaman ini. Posisi syahwat sebagai bagian dari proses mendapat anak sudah jelas. Dengan demikian, pernikahan mencukupkan seseorang pada kesibukan amalnya, mendorongnya memiliki anak, dan menghindarkan dirinya dari kejahatan jiwanya.

Namun, tidak bisa disamakan antara orang yang memenuhi perintah Tuhannya dalam rangka mendapatkan ridha-Nya, dengan orang yang memenuhi perintah Tuhannya agar terhindar dari malapetaka.

3. Sebagai hiburan dan kedamaian bagi jiwa.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Bercengkerama (dengan istri), memandang dan bermesraan, sangat perlu dilakukan untuk menyejukkan hati dan menguatkan diri dalam beribadah karena jiwa akan merasakan kejenuhan. Nafsu selalu memberontak terhadap kebenaran.

Seandainya nafsu dibebani untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai karena bertentangan dengannya, maka jiwa seseorang akan statis dan tidak bergerak. Jika jiwa diberi kelezatan-kelezatan pada waktu-waktu tertentu, manusia akan menjadi kuat dan semangat.

Beramah-tamah dengan wanita merupakan hiburan yang dapat menghilangkan kesengsaraan dan menyejukkan hati, maka sudah sepatutnya jiwa orang-orang yang bertakwa mendapat berbagai macam hiburan yang dibolehkan.

Oleh karena itu Allah swt. berfirman,
“Agar dia merasa senang kepadanya.” (QS. al-A’râf [7]: 189)

[irp]

4. Memfokuskan hati untuk mengurus rumah tangga.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Menyibukkan diri dengan memasak, menyapu, menata perabot, membersihkan perkakas dan lain-lain untuk mengurus kehidupan sehari-hari.

Jika seseorang tidak memiliki syahwat bersetubuh, ia akan kesulitan mengurus rumahnya sendirian. Jika ia disibukkan oleh semua urusan rumahnya, waktunya akan habis, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mencari ilmu dan beramal.

Wanita salehah adalah wanita yang bisa mengurus semua urusan rumah tangga ini—dengan cara ini berarti ia telah membantu agama. Di sela-sela kesibukannya, wanita juga dapat melakukan kesibukan-kesibukan yang mengistirahatkan hati dari penat.

Oleh karena itu, Abu Sulaiman ad-Darani rha. berkata, “Istri yang salihah bukanlah bagian dunia ini, melainkan ia yang memfokuskanmu kepada akhirat. Sedangkan fokus dirinya adalah membina rumah tangga dan sebagai pelampiasan syahwat suaminya.”

5. Melawan hawa nafsu.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Melatih diri agar bisa memimpin dan memenuhi hak-hak keluarga; bersabar menghadapi tingkah mereka, menahan derita dari keburukan yang mereka lakukan, berupaya membina mereka, serta membimbing mereka kepada jalan agama, bersusah payah mencari penghidupan yang halal dan mendidik anak-anak, semua ini merupakan perilaku yang mulia.

Karena hal itu masuk dalam bidang kepemimpinan—yang dipimpin dalam hal ini ialah istri dan anak, sedang memimpin merupakan pekerjaan mulia. Yang perlu diwaspadai adalah kekhawatiran atas ketidaksanggupan memenuhi hak-hak mereka. Rasulullah saw. bersabda,

“Satu hari yang dilalui pemimpin adil, lebih baik dari pada ibadah selama tujuh puluh tahun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

[irp posts=”13634″ name=”Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali”]

Demikianlah manfaat-manfaat menikah menurut Imam al-Ghazali beserta aspek-aspek kelebihannya.

Salam Literasi Indonesia.

Catat Baik-baik! Ini 5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali Read More »

Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali

Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali

Beberapa ulama memiliki perbedaan pendapat tentang keutamaan menikah. Sebagian berpendapat menikah lebih baik dari hidup melajang untuk beribadah kepada Allah. Ulama lainnya menyetujui keutamaan menikah, tetapi melajang untuk beribadah kepada Allah lebih utama daripada menikah.

Seseorang yang berkeinginan untuk menikah, tetapi tidak melakukannya akan membuat hidupnya tidak nyaman karena ia tidak dapat menyalurkan hasrat seksualnya. Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa lebih baik tidak menikah, terutama di zaman kita ini.

Pada zaman dahulu, pernikahan memang memiliki banyak sisi positif. Sebab, saat itu belum ada pekerjaan yang sifatnya haram, moral perempuan zaman itu juga tidak serendah sekarang. Sebagaimana tercantum dalam cerita orang terdahulu, serta banyak riwayat yang membahas motivasi seseorang untuk menikah, juga aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang menikah. Dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu menikah memang penting.

Selanjutnya kita akan membahas sisi positif dan negatif pernikahan, agar menjadi jelas faedah menikah dan tidak menikah sehingga bisa menjadi pilihan bagi siapa saja yang berusaha melepaskan diri dari keburukan yang mungkin muncul terkait kedua pilihan itu.

[irp]

Motivasi untuk Menikah

Motivasi untuk Menikah

Berikut ayat-ayat yang memotivasi dilakukannya pernikahan, yaitu firman Allah swt.,
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu.” (QS. an-Nûr [24]: 32)

—ini adalah perintah untuk menikah.

“Janganlah kau menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya.” (QS. al-Baqarah [2]: 232)

—ini adalah larangan menghalangi orang yang hendak menikah.

“Dan sungguh Kami mengutus rasul-rasul sebelum kamu dan Kami mengaruniakan mereka istri-istri beserta keturunan.” (QS. ar-Ra’d [13]: 38)

Allah swt. menyampaikan firman-Nya saat menceritakan kehidupan para Rasul dan memuji perilaku mereka, dalam rangka mengingatkan tentang pemberian karunia dan kebaikan Allah kepada mereka.

Diceritakan bahwa Nabi Yahya as. telah menikah, tetapi ia belum melakukan hubungan suami-istri. Ada juga yang mengatakan bahwa itu dilakukannya demi meraih keutamaan dan mengamalkan kebaikan. Ada juga riwayat lain mengatakan bahwa beliau menikah semata-mata untuk menahan pandangan.

Adapun motivasi yang bersumber dari cerita Nabi saw.,

Rasulullah saw. bersabda,

“Menikah adalah sunahku. Maka barang siapa tidak suka dengan sunahku, berarti ia membenciku.”
Nabi saw. bersabda,

“Barang siapa menikah, ia telah mendapatkan setengah dari agamanya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengahnya yang lain.” (HR. Ibnu al-Jauzi)

Ini merupakan isyarat bahwa kelebihan menikah yakni dalam rangka mendapat keutuhan beragama dengan membentengi diri dari mara bahaya, karena yang banyak mencederai keberagamaan seseorang adalah hasrat kemaluan dan perutnya. Dengan menikah, seseorang telah mencukupi kebutuhan salah satu dari dua hal itu.

[irp]

Motivasi untuk Menjauhi Pernikahan

Motivasi untuk Menjauhi Pernikahan

Mengenai kekhawatiran yang muncul terkait pernikahan, Rasulullah saw. pernah bersabda,

“Sebaik-baik manusia setelah dua ratus (tahun dari sekarang—penj.) adalah yang (bebannya) ringan, yang terputus—tidak memiliki keluarga, dan tidak pula memiliki anak.” (HR. Abu Ya’la dan al-Khitabi)

Abu Sulaiman ad-Darani pernah ditanya soal menikah, dan dia menjawab, “Menahan diri tidak menikah lebih baik daripada bersabar atas apa yang terjadi setelah menikah. Dan bersabar setelah menikah lebih baik dari menahan diri dalam menghindari api neraka.”

Ia juga pernah berkata, “Orang yang membujang akan mendapatkan manisnya ibadah juga ketenangan hati yang tidak didapati oleh orang yang beristri.”

Inti yang bisa diambil dari paparan di atas ialah, tidak ada nukilan hadis dari seorang pun yang menganjurkan untuk tidak menikah secara mutlak, kecuali anjuran itu disertai suatu alasan.

Sedangkan motivasi atau anjuran untuk menikah, jelas selalu bersifat mutlak dan terkadang disertakan pula dengan suatu alasan. Tugas kita yaitu menyingkap dan menelusuri sisi positif dan negatif pernikahan beserta manfaat-manfaatnya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali Read More »

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam: Bagaimana Dahulu Umat Islam Menghadapi Pandemi dan Apa Saja Pelajaran yang Bisa Kita Ambil Sekarang?

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Belakangan ini, buku Badzlul Ma’un fi Fadhli ath-Tha’un (pemberian bantuan kepada para penderita penyakit taun), karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449 M), banyak dicari-cari orang. Hal ini tak lepas dari isi kandungannya yang sangat sesuai dengan konteks sekarang, yaitu membahas pandemi dengan segala permasalahan dan dinamikanya dalam sudut pandang Islam.

Walaupun Covid-19 berbeda dengan taun, tetapi di antara keduanya memiliki kesamaan yang mencolok, yaitu sama-sama menular, cepat, dan mematikan

Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1416 M, dan sempat berhenti sebelum kemudian diselesaikan pada tahun 1430 M setelah para sahabat dan murid-muridnya meminta untuk mengumpulkan hadis yang berkaitan tentang taun. Selain itu, faktor penulisan buku ini juga karena ketiga putri Ibnu Hajar yang bernama Fathimah, Zeinah, dan Ghaliyah meninggal karena wabah taun.

Sayangnya, buku ini belum ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sampai akhirnya Turos Pustaka menjadi penerbit pertama di Indonesia yang menerjemahkan buku ini. Penerjemahnya, Ustadz Fuad Syaifudin Nur, penerjemah kitab Al-Umm Imam Syafi’i.

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam berisikan hadis-hadis dengan sanad (mata rantai periwayatan) yang sangat lengkap dan rinci, sehingga validitas setiap informasi di dalamnya dapat dipertanggungjawabkan.

Sangat penting untuk dicatat di sini, buku ini sangat relevan untuk menjadi acuan umat muslim Indonesia bahkan dunia dalam menghadapi masa-masa pandemi. Karena, dinamika yang direkam dalam buku ini sama persis dengan apa yang terjadi pada masa sekarang. Beberapa poin pembahasan penting dalam buku ini antara lain:

[irp]

1. Sejarah Asal-usul Pandemi (Taun) menurut Ibnu Hajar al-Asqalani

Berlandaskan pada hadis sahih, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa wabah taun sudah ditemukan pada masa Nabi Musa as. dan Bani Israil. Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya sakit―atau penyakit―ini adalah azab yang dengannya diazab orang-orang sebelum kalian”. (Dalam satu riwayat lain: Yang dengannya sebagian Bani Israil telah diazab)

Sepeninggal Nabi Musa as. dan Nabi Harun as., Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as. bahwa Bani Israil terlalu banyak membangkang, sehingga Dia memberi mereka tiga pilihan sebagai tebusan:

1) Ditimpa kekeringan selama dua tahun
2) Musuh berkuasa atas mereka selama dua bulan
3) Dikirimkan taun kepada mereka selama tiga hari.

Seperti yang dituliskan dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, atas kesepakatan Bani Israil, Nabi Daud as. memilihkan untuk mereka opsi yang terakhir, yaitu ditimpakannya wabah taun selama tiga hari. Setelah itu, tewaslah dari kalangan Bani Israil sebanyak tujuh puluh ribu orang―ada yang menyatakan seratus ribu orang―sampai matahari condong ke barat. Nabi Daud as. pun memohon kepada Allah agar taun diangkat, lalu kemudian diangkat dari mereka.

2. Definisi Pandemi Jenis Taun

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Kata taun serapan dari bahasa Arab طَاعُوْنٌ dibaca “thâ’ûn”. Dalam Bahasa Indonesia, “taun” berarti: penyakit menular; wabah; epidemi.

Ibnu al-Arabi menyatakan, kata tha’în digunakan untuk menyebut korban taun. Disebutkan bahwa taun merupakan penyakit yang menyerang banyak orang dan dapat menyebabkan kematian seperti penyakit dzabhah (angina), semacam penyakit yang menyerang tenggorokan atau peradangan di dalam tubuh yang menyebabkan sesak napas.

Imam Nawawi menyebutkan bahwa sebagian ulama menafsirkan taun sebagai penyakit yang menghambat peredaran darah ke berbagai anggota tubuh. Mayoritas ulama menyatakan bahwa taun adalah penyakit bengkak dan pendarahan.

Lebih lanjut lagi, dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, Ibnu Sina dan para tabib terkemuka pada masanya menyatakan bahwa taun adalah material beracun yang dapat menyebabkan bengkak atau tonjolan mematikan. Ia menyerang daerah ketiak, saluran kemih, paha, dan lain-lain dari tubuh manusia.

[irp]

3. Penyebab Munculnya Pandemi

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Dikutip dari Alauddin bin Nafis dalam kitab Al-Mujaz fi ath-Thibb, bahwa wabah terjadi karena kerusakan yang dialami materi-materi pembentuk udara, baik penyebab dari langit maupun dari bumi.

Penyebab dari bumi ialah air yang warna dan baunya sudah berubah, serta banyak bangkai ditemukan di sana, seperti di medan perang yang banyak mayat berjatuhan.

Mengenai penjelasan ini, WHO menyebutkan bahwa virus paling mematikan sepanjang sejarah dunia adalah flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918 M yang terjadi di bulan-bulan terakhir perang dunia I. Tidaklah berlebihan jika dikatakan penyebab flu mematikan kala itu ialah perang dunia yang telah memakan banyak korban.

Penyebab dari langit, yaitu seperti komet dan meteor yang jatuh pada akhir musim panas dan musim gugur, banyaknya hembusan angin utara dan angin timur pada bulan kanûnain (Desember dan Januari).

4. Yang Perlu Dilakukan Ketika Pandemi Melanda

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

A. Jaga Jarak (Social Distancing)

Pada masa pemerintahan Umar ra., taun terjadi di Syam pada bulan Muharram dan Shafar yang menelan banyak korban. Orang-orang pun mengirim surat kepada Umar ra., mengadukan masalah itu. Lalu Umar ra. keluar, dan ketika dia tiba di dekat Syam―daerah Sargh, terdengar kabar bahwa taun yang terjadi di Syam bertambah lebih parah dari sebelumnya.

Para sahabat pun berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila taun terjadi di suatu daerah, maka janganlah kalian memasuki daerah itu. Apabila ia terjadi di suatu daerah yang kalian diami, maka ia bukan atas kalian (sebagai azab).” Umar pun kembali sampai taun hilang dari Syam.

Kisah tersebut terekam dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam dan Hadis di atas menjadi landasan “social distancing” bagi umat Islam. Tentu, ini merupakan satu-satunya tindakan (vaksin) yang harus dilakukan oleh seluruh umat dalam melewati masa pandemi.

B. Senantiasa Berdoa

Masalah doa yang sesuai dengan tuntunan sunah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan, melalui Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, bahwa para ahli fikih menyerahkan bacaan doa kunut (qunut nazilah) kepada sepenangkapan pemahaman orang yang mendengar.

Doa yang disebutkan terakhir yang diambil dari ulama salaf oleh Ibnu Hajar dalam buku ini, terkait dengan kunut, yaitu doa sebagai berikut.

“Wahai Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari bala yang berat pada jiwa, keluarga, harta, dan anak-anak kami.”

Namun, terkait berdoa bersama, seperti istigasah, shalat istisqa`, dan sebagainya, Ibnu Hajar menyebut hal demikian sebagai perbuatan bidah.

Maka, dapat disimpulkan bahwa berdoa dan beribadah harus mengikuti protokol yang telah ditentukan ulama tepercaya atau pemerintah setempat.

5. Data Berbagai Pandemi dalam Sejarah Islam

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencatat data-data jumlah korban dan daerah yang terjangkit wabah taun, dari kejadian pada masa Rasulullah saw. sampai yang terjadi pada masa ia menyelesaikan kitab Badzlul Ma’un fi Fadhl ath-Tha’un.

Dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam ini, dinyatakan ada 5 peristiwa taun besar yang pernah menimpa sepanjang sejarah Islam.

1) Taun Syirawaih, terjadi di Madain pada masa Rasulullah saw pada tahun keenam Hijriah.
2) Taun Amwas, wabah ini terjadi pada masa Umar ra. pada tahun 16 H/640 M. Amwas merupakan salah satu daerah yang ada di kawasan Syam, dan taun mematikan ini terjadi di daerah tersebut.
3) Taun Jarif, terjadi pada tahun 69 H/689 M. Dinamakan “Taun Jarif”, dari akar kata “Jarofa” yang artinya menyapu bersih, karena ia menyapu manusia sebagaimana banjir besar menyapu bersih tanah-tanah.
4) Taun Fatayat, terjadi pada tahun 87 H/706 M. Fatayat artinya para gadis, dinamakan “Taun Fatayat” disebabkan banyaknya perempuan remaja yang tewas.
5) Taun Salam bin Qutaibah, terjadi pada tahun 131 H/749 M. Pandemi ini terjadi di Bashrah pada bulan Rajab, menjadi kian parah pada bulan Ramadhan, lalu mereda pada bulan Syawwal. Jumlah korban meninggal pada saat itu mencapai seribu orang setiap hari. Sebelumnya, telah terjadi Taun Asyraf, Taun Adi bin Arthah, Taun Ghurab. Namun, kejadian sebelumnya tidak disebutkan jumlah korban.

Pandemi ini (taun) terus terjadi dengan selang puluhan atau ratusan tahun sekali, sampai kejadian yang menimpa pada masa Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dan ketiga putri kesayangannya meninggal terjangkit wabah tersebut.

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri dengan 3M! (Memakai Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu sehat sentosa dalam lindungan-Nya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam: Bagaimana Dahulu Umat Islam Menghadapi Pandemi dan Apa Saja Pelajaran yang Bisa Kita Ambil Sekarang? Read More »

Protokol Kesehatan di Kala Pandemi ala Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam

Pada akhir tahun 2019 dunia digemparkan virus yang menyebabkan wabah penyakit menular, yang kemudian dinamakan dengan istilah covid-19 (Corona Virus Disease tahun 2019). Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai Pandemi. Wabah ini menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Hal ini membuat semua kalangan masyarakat bertindak dalam menyikapi penyebaran wabah tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat; tindakan tegas dari pihak pemerintah pun turut dijalankan.

Namun, tahukah kita, berbagai usaha yang telah dianjurkan selama masa pandemi versi Islam? Berikut ini beberapa panduan dari Ibnu Hajar al-Asqalani di kala pandemi yang disarikan dari Kitab Wabah dan Taun dalam Islam yang masih relevan untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menyikapi covid-19.

[irp]

1. Karantina wilayah (lockdown dalam bahasa Inggris)

Karantina wilayah (lockdown dalam bahasa Inggris)

Sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran virus, karantina wilayah adalah satu-satunya solusi yang sangat jitu. Pasalnya, ketika seorang yang terinfeksi virus berkunjung ke suatu daerah, secara langsung akan menularkan kepada orang yang kontak dengannya. Maka, karantina wilayah merupakan sebuah tindakan awal yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus.

Tahukah kita? Ternyata, tindakan ini sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, pada masa Rasulullah saw., beliau pernah memerintahkan pemberlakuan karantina wilayah bagi daerah yang diserang wabah penyakit.

Dalam buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam terekam jelas dari kisah pembatalan kunjungan Umar ra. ke Syam.

Diceritakan, ketika masa pemerintahannya, wabah taun telah melanda Negeri Syam pada bulan Muharram dan Shafar yang menelan banyak korban tewas, lalu taun itu hilang. Orang-orang pun mengirim surat kepada Umar ra. mengadukan masalah itu.

Kemudian Umar ra. dan sahabat lainnya pergi menuju Syam. Sesampainya di daerah dekat Syam (daerah Sargh), sampailah kabar kepadanya bahwa taun yang terjadi di Syam bertambah parah jauh lebih parah dari sebelumnya.

Di saat seperti itu, Umar ra. memanggil orang-orang Muhajirin, Anshar, dan pemuka suku Quraisy untuk mendiskusikan tentang tindakan apa yang harus dilakukannya. Setelah panjang diskusi, dicapailah kesepakatan untuk kembali pulang ke Madinah.

Akan tetapi, Abu Ubaidah sebagai gubernur Syam mengatakan, “Apakah engkau lari dari takdir Allah?” Umar ra. menanggapi pemikiran itu dengan berkata, “Kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain…..”

Lalu, Abdurrahman bin Auf ra. mendekati forum diskusi itu seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku memiliki suatu ilmu tentang hal ini. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

“Apabila kalian mendengar (taun) itu terjadi di suatu tempat, janganlah kalian datangi tempat itu; dan apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian sedang berada di situ, janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.’” Umar ra. sontak mengucapkan hamdalah dan pujian kepada Allah, lalu dia pun kembali (membatalkan memasuki Negeri Syam).

Hadis di atas, adalah landasan yang kuat bagi umat Islam dalam memberlakukan karantina wilayah untuk mencegah tersebarnya virus menular yang mematikan di masa pandemi, apapun nama jenis virusnya.

2. PSBB (pembatasan sosial berskala besar)

PSBB (pembatasan sosial berskala besar)

Seperti halnya karantina wilayah, kerumunan orang di masa pandemi pun patut untuk diwaspadai. Karena, hal tersebut merupakan salah satu penyebab menularnya virus. Dan kita tidak pernah tahu orang yang berjumpa dengan kita adalah orang tanpa gejala (OTG). Maka, upaya pembatasan sosial sudah sepatutnya untuk dilakukan.

Ternyata, hukum mengenai hal ini telah dibahas tuntas dalam syariat Islam. Landasan hukumnya adalah pelarangan Rasulullah saw. bagi penderita taun untuk keluar dari daerah tersebut. Sebagaimana yang dicatat dalam buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, dikatakan oleh Ibnu Hajar, “Imam Syafi’i telah menaskan bahwa, jika seseorang berada di suatu tempat yang taun menyebar luas di sana, maka status semua orang yang bermukim di daerah itu adalah seperti orang yang mengalami penyakit mengkhawatirkan, walaupun dia tidak terkena taun.”

Begitu juga dengan Qadhi Husein, seorang hakim dan ahli fikih, menyatakan bahwa, “Orang yang berada di daerah taun, statusnya sama seperti orang yang mengalami penyakit mengkhawatirkan, dengan dalil larangan Rasulullah saw. bagi orang yang berada di daerah taun untuk keluar dari situ.”

Dapat disimpulkan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Selain berlandaskan pada hadis larangan Rasulullah saw. di atas, surat al-Baqarah ayat 195 juga merupakan landasan dasar pemberlakuan PSBB. Allah swt. berfirman,

“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah [2]: 195)

Ayat ini jelas sekali melarang orang yang sengaja mendekatkan diri kepada kehancuran dan penyakit. Begitu pula pada masa pandemi, ayat tersebut melarang keras seseorang yang sengaja menularkan ataupun tertular penyakit.

3. Tetap di Rumah (#StayHome)

Tetap di Rumah (#StayHome)

Tidak hanya PSBB saja yang diimbau oleh pemerintah. Namun, anjuran untuk selalu tetap berada di rumah pun turut diserukan. Walaupun dampaknya besar bagi ekonomi negara dan masyarakat, berdiam diri di rumah adalah satu-satunya cara paling efektif untuk memutuskan mata rantai virus.

Mengenai hal ini, Rasulullah saw. pun telah menganjurkan untuk tetap di rumah (#stayhome) pada masa pandemi. Berikut ini potongan hadis riwayat Imam Ahmad dari Aisyah ra.,

“Tidak ada seorang pun yang terkena taun, lalu dia tetap diam di rumahnya dengan sabar serta mengharap pahala dari Allah, dan dia tahu bahwa tidak ada yang dapat mengenai dirinya kecuali hanya apa yang telah Allah tetapkan baginya, kecuali baginya pahala yang setara dengan pahala orang syahid.”

Dari hadis tersebut, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa orang yang berdiam di rumahnya selama wabah, sembari bersabar, mengharap ridha ilahi, dan mengimani takdir Allah, dia akan memperoleh seperti pahala orang mati syahid meskipun dirinya tidak terkena wabah.

Dia mengutip salah satu hadis Nabi yang berbunyi, “Sesungguhnya kebanyakan para syuhada di kalangan umatku adalah orang-orang yang mati di atas kasur.”

Jadi, jelaslah sudah, bahwa Islam menganjurkan untuk tetap di rumah (#stayhome) pada masa pandemi, dan menyetarakannya dengan mereka yang sedang berjuang di jalan Allah swt.

4. Hukum Berkumpul Shalat & Doa Berjamaah

Hukum Berkumpul Shalat & Doa Berjamaah

Anjuran PSBB dan tetap di rumah bukan hanya berdampak pada tatanan sosial saja, bahkan dampaknya sangat terasa dalam praktik ibadah. Misalnya, silaturahmi, shalat jum’at, dan ibadah lainnya yang berhubungan dengan perkumpulan.

Pasalnya, semua masjid tidak mengadakan shalat Jum’at dikarenakan mengkhawatirkannya penyebaran virus yang semakin hari semakin bertambah korban. Terlebih lagi, pada waktu idul fitri, hampir semua masjid tidak mengadakan shalat idul fitri yang hanya dilaksanakan satu tahun sekali itu.

Apa pandangan Islam dalam hal ini?

Menanggapi realita tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan pandangan berdasarkan dalil yang kuat dan berkata, “Adapun berkenaan dengan tindakan berdoa secara berjamaah untuk memohon dihilangkannya taun, dengan cara seperti yang dilakukan pada Shalat Istisqa` (shalat minta hujan), itu adalah bidah.”

Lebih lanjut, dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, Ibnu Hajar mencatat, “Disebutkan bahwa itu pernah terjadi pada tahun 49 H, lalu semua orang pergi keluar ke sahara termasuk para pembesar negeri. Mereka lalu berdoa dan melakukan istigasah. Dan ternyata setelah itu, taun justru semakin parah, padahal sebelum doa dilakukan taun tidak terlalu parah.”

Bidah berarti suatu ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw., generasi sahabat, dan tabi’in. Artinya, berkerumun di masa pandemi (taun) sangat tidak dibenarkan dalam syariat. Karena, ayat yang telah disebutkan di atas sudah jelas menyatakan bahwa haram hukumnya seseorang sengaja menjatuhkan diri pada kebinasaan atau penyakit.

Dapat disimpulkan dari buku ini, bahwa berkerumun itu tidak dibenarkan walaupun dalam hal ibadah. Namun, ibadah tetap dilaksanakan dengan memenuhi protokol kesehatan yang telah dianjurkan oleh dokter.

5. Pola Hidup Bersih dan Sehat

Pola Hidup Bersih dan Sehat

Selama belum ditemukannya vaksin atau antivirus corona, kemungkinan manusia hidup berdampingan dengan virus ini, seperti halnya penyakit flu dan sejenisnya. Dalam keadaan seperti ini, hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan pola dan gaya hidup sehat, baik makanan, olah raga, jaga jarak, maupun rutin mencuci tangan.

Apakah anjuran itu sesuai dengan syariat Islam? Mari sama-sama kita telusuri di buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam.

Tentu saja, dalam Islam, saran dari seorang dokter (tabib) memiliki porsi khusus yang bisa dijadikan landasan hukum. Misalkan, seseorang dibolehkan tidak berwudhu (namun tayamum) ketika hendak shalat jika dokter menyatakan bahwa orang tersebut alergi terhadap air, sehingga air dapat berbahaya baginya. Dalam hal ini, hukum fikih akan butuh pertimbangan dari saran dokter.

Dalam hubungannya dengan masa wabah taun, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “Di antara dalil-dalil yang menunjukkan perintah syariat untuk berobat adalah menjaga diri di tengah terjadinya wabah dari hal-hal yang disarankan oleh para tabib (dokter), seperti mengeluarkan kotoran tubuh, mengurangi makan, tidak melakukan olahraga, tidak mendatangi pemandian umum, tetap diam dan tenang, serta tidak banyak menghirup udara yang buruk.”

Pernyataan Ibnu Hajar tersebut merupakan anjuran dokter pada masa itu. Tentunya jenis virusnya berbeda sehingga anjuran dokter pada masa itu pun berbeda dengan masa covid-19 sekarang. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan ialah patuh terhadap saran dan anjuran dokter karena dokter lebih tahu mengenai jenis virus, penanganan, dan pencegahannya.

Dan, firman Allah swt., “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah [2]: 195), ayat ini merupakan landasan utama dalam hal ini, yaitu menjauh dari penyakit. Namun, untuk menghindari virus menular itu butuh akan saran para dokter.

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu 3M! (Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu sehat sentosa dalam lindungan-Nya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

Protokol Kesehatan di Kala Pandemi ala Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam Read More »