Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali

Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali

Beberapa ulama memiliki perbedaan pendapat tentang keutamaan menikah. Sebagian berpendapat menikah lebih baik dari hidup melajang untuk beribadah kepada Allah. Ulama lainnya menyetujui keutamaan menikah, tetapi melajang untuk beribadah kepada Allah lebih utama daripada menikah.

Seseorang yang berkeinginan untuk menikah, tetapi tidak melakukannya akan membuat hidupnya tidak nyaman karena ia tidak dapat menyalurkan hasrat seksualnya. Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa lebih baik tidak menikah, terutama di zaman kita ini.

Pada zaman dahulu, pernikahan memang memiliki banyak sisi positif. Sebab, saat itu belum ada pekerjaan yang sifatnya haram, moral perempuan zaman itu juga tidak serendah sekarang. Sebagaimana tercantum dalam cerita orang terdahulu, serta banyak riwayat yang membahas motivasi seseorang untuk menikah, juga aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang menikah. Dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu menikah memang penting.

Selanjutnya kita akan membahas sisi positif dan negatif pernikahan, agar menjadi jelas faedah menikah dan tidak menikah sehingga bisa menjadi pilihan bagi siapa saja yang berusaha melepaskan diri dari keburukan yang mungkin muncul terkait kedua pilihan itu.

[irp]

Motivasi untuk Menikah

Motivasi untuk Menikah

Berikut ayat-ayat yang memotivasi dilakukannya pernikahan, yaitu firman Allah swt.,
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu.” (QS. an-Nûr [24]: 32)

—ini adalah perintah untuk menikah.

“Janganlah kau menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya.” (QS. al-Baqarah [2]: 232)

—ini adalah larangan menghalangi orang yang hendak menikah.

“Dan sungguh Kami mengutus rasul-rasul sebelum kamu dan Kami mengaruniakan mereka istri-istri beserta keturunan.” (QS. ar-Ra’d [13]: 38)

Allah swt. menyampaikan firman-Nya saat menceritakan kehidupan para Rasul dan memuji perilaku mereka, dalam rangka mengingatkan tentang pemberian karunia dan kebaikan Allah kepada mereka.

Diceritakan bahwa Nabi Yahya as. telah menikah, tetapi ia belum melakukan hubungan suami-istri. Ada juga yang mengatakan bahwa itu dilakukannya demi meraih keutamaan dan mengamalkan kebaikan. Ada juga riwayat lain mengatakan bahwa beliau menikah semata-mata untuk menahan pandangan.

Adapun motivasi yang bersumber dari cerita Nabi saw.,

Rasulullah saw. bersabda,

“Menikah adalah sunahku. Maka barang siapa tidak suka dengan sunahku, berarti ia membenciku.”
Nabi saw. bersabda,

“Barang siapa menikah, ia telah mendapatkan setengah dari agamanya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengahnya yang lain.” (HR. Ibnu al-Jauzi)

Ini merupakan isyarat bahwa kelebihan menikah yakni dalam rangka mendapat keutuhan beragama dengan membentengi diri dari mara bahaya, karena yang banyak mencederai keberagamaan seseorang adalah hasrat kemaluan dan perutnya. Dengan menikah, seseorang telah mencukupi kebutuhan salah satu dari dua hal itu.

[irp]

Motivasi untuk Menjauhi Pernikahan

Motivasi untuk Menjauhi Pernikahan

Mengenai kekhawatiran yang muncul terkait pernikahan, Rasulullah saw. pernah bersabda,

“Sebaik-baik manusia setelah dua ratus (tahun dari sekarang—penj.) adalah yang (bebannya) ringan, yang terputus—tidak memiliki keluarga, dan tidak pula memiliki anak.” (HR. Abu Ya’la dan al-Khitabi)

Abu Sulaiman ad-Darani pernah ditanya soal menikah, dan dia menjawab, “Menahan diri tidak menikah lebih baik daripada bersabar atas apa yang terjadi setelah menikah. Dan bersabar setelah menikah lebih baik dari menahan diri dalam menghindari api neraka.”

Ia juga pernah berkata, “Orang yang membujang akan mendapatkan manisnya ibadah juga ketenangan hati yang tidak didapati oleh orang yang beristri.”

Inti yang bisa diambil dari paparan di atas ialah, tidak ada nukilan hadis dari seorang pun yang menganjurkan untuk tidak menikah secara mutlak, kecuali anjuran itu disertai suatu alasan.

Sedangkan motivasi atau anjuran untuk menikah, jelas selalu bersifat mutlak dan terkadang disertakan pula dengan suatu alasan. Tugas kita yaitu menyingkap dan menelusuri sisi positif dan negatif pernikahan beserta manfaat-manfaatnya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *