Saat diundang ke istana, Sa’dun si gila mengomentari gaya hidup Khalifah al-Mutawakkil yang penuh kemewahan. Komentar itu pun membuat sang Khalifah murka dan memerintahkan pengawalnya untuk menjebloskan Sa’dun ke penjara.
Di hari ketiga, saat al-Mutawakkil berbaring di atas sofa beralaskan sutera hijau lumut di istana, ia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Sa’dun si gila.
Sa’dun si gila memenuhi panggilan tersebut. Ketika melihat suasana di ruangan al-Mutawakkil, Sa’dun si gila tertawa dan berkata, “Wahai Mutawakkil! Ini kerajaan yang rendah, hina dan fana.”
Al-Mutawakkil berkata, “Saya dengar engkau adalah seorang haruriy yang mencintai kebebasan.”
Sa’dun menjawab, “Saya tidak demikian. Saya hanya menggambarkan tanah lapang yang lebih baik daripada tanah lapang anda, istana yang lebih agung daripada istana anda.”
Al-Mutawakkil berkata, “Coba jelaskan kepadaku hal itu!”
Sa’dun menjawab, “Sesungguhnya di surga terdapat tanah lapang yang ditumbuhi pohon murad. Di tengah tanah lapang itu, terdapat istana dari permata yang dengan begitu banyak kamar. Di tengah-tengah istana, terdapat kubah yang ditumbuhi bunga iris. Istana dan kubah tersebut dibangun dari tumbuhan cengkeh.
Surga itu memiliki empat peraturan. Peraturan pertama, istana itu merupakan akhir dari peristirahatan orang-orang yang takut kepada Allah. Peraturan kedua, istana itu merupakan akhir nikmat bagi orang-orang yang merindukan Allah. Peraturan ketiga, istana itu merupakan akhir dari perjalanan para pencari Allah. Peraturan keempat, istana itu merupakan akhir dari kebahagiaan orang-orang yang bersedih.
Surga itu memiliki jalan yang berakhir pada kamar-kamar yang dipenuhi dengan beragam hadiah, banyak dayang, berbagai makanan dan minuman, kemah-kemah, para pelayan. Di sana terdapat lapangan yang dikelilingi oleh pemuda dan pemudi. Tanahnya terbuat dari perak. Kerikilnya dari permata. Ranting-rantingnya terbuat dari ambar. Singgasana ‘Arsy menjadi plafonnya, kasih saying adalah isi utamanya. Penghuninya para nabi. Pemerintahnya para malaikat. Pelayannya para pemuda-pemudi. Keabadian sebagai fondasinya. Kelanggengan tanpa henti adalah nikmatnya.
Istananya terbuat dari emas. Tempat tidurnya terbuat dari sutera. Tempat tinggalnya tinggi-tingi. Parfumnya dari minyak kesturi. Cengkeh merupakan tanamannya. Pakaiannya pun dari sutera tipis. Sungainya lancer mengalir. Sarana peneduhnya senantiasa rendah untuk dipetik buah-buahannya. Istri-istri di sana suci. Tamannya hijau. Hidup di sana nikmat. Kesturi dan kapurnya harum.
Itu merupakan tempat untuk hidup dan tempat bermukim yang nikmat di dalam istana, yang memiliki sungai dan pepohonan. Naungannya terbentang luas, airnya tercurah berlimpah ruah dan pohon pisangnya bersusun-susun buahnya.
Penghuni tempat tersebut senantiasa dalam kenikmatan. Tak ada kegundahan pada hati mereka. Segala penyakit dan kesulitan telah diangkat dari diri mereka dan dihilangkan. Mereka pun senantiasa berpelukan dengan para perawan, mengiringi orang-orang baik dan di sampingSang Maha Raja Yang Berkuasa.”
Al-Mutawakkil berkata, “Bagus. Semoga Allah memberkatimu. Siapa bilang dirimu gila?” Selanjutnya, al-Mutawakkil memerintahkan pegawainya untuk memberi hadiah kepada Sa’dun. Tapi Sa’dun menolak dan berkata:
Cukuplah Allah bagiku. Dialah yang telah menjadikan khazanah pemberian-Nya terbuka bagi orang yang mendambakan-Nya. Cukup bagiku mendapatkan kunci khazanah tersebut sehingga diperbolehkan tamak terhadapnya.”