Kami mengundang para penerbit, editor, dan penulis seluruh dunia yang memperjuangkan keadilan, kebebasan berekspresi, dan kekuatan kata-kata tertulis, untuk menandatangani surat ini dan bergabung bersama kolektif solidaritas global kami, Publishers for Palestine.
Sebagai pekerja budaya yang cermat memperhatikan kata-kata dan bahasa, kami mencatat bahwa genosida ini diawali dengan pemimpin-pemimpin militer pendudukan Israel memakai kata-kata seperti “hewan berwujud manusia” untuk membenarkan serangan mereka kepada warga sipil Gaza.
Mengejutkan rasanya melihat penggunaan bahasa yang begitu merendahkan kemanusiaan dari sebuah bangsa yang sendirinya pernah mengalami hal yang sama dalam konteks genosida.
Kita juga diingatkan akan bahasa penghapusan dan genosida yang tercakup dalam mitologi Zionis (dan Kristen) dari “Sebuah tanah tanpa bangsa untuk sebuah bangsa tanpa tanah,” yang ditegakkan oleh Deklarasi Balfour dari kolonialis Inggris 106 tahun lalu pada 2 November 1917.
Sejarah kolonial supremasi kulit putih dari sistem penghapusan, pengambilan, dan pengendalian kapitalis ini tercermin pada saat sekarang ini, bahkan dalam ranah jernih seni-budaya.
Mulai dari penolakan Frankfurt Book Fair/Litprom untuk menggelar upacara penganugerahan hadiah yang diterima oleh penulis Palestina Adania Shibli (surat protes akan kasus ini ditandatangani lebih dari 1.000 penulis ternama), hingga pembatalan pembacaan oleh para penulis seperti Viet Thanh Nguyen di 92Y New York, dan Mohammed el-Kurd di University of Vermont, serta pemecatan baru-baru ini atas David Velasco, editor majalah Artforum.
Semua peristiwa di atas menguak betapa dalamnya kaitan organisasi-organisasi penerbitan dan sastra Barat dalam kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi AS serta Israel dengan membungkam dan menghukum para penulis yang lantang menyuarakan soal Palestina.
Kami mengecam keterlibatan mereka semua yang bekerja dalam penerbitan korporat maupun independen yang memungkinkan atau membiarkan represi ini melalui kepengecutan mereka, kebungkaman, dan kerjasama mereka dengan tuntutan-tuntutan para donor, penyandang dana, dan pemerintah pendudukan imperialis Israel.
Kami mengutuk pemolisian dan sensor atas para penulis, perundungan dan pelecehan atas staf dan pemilik toko buku, dan intimidasi atas para pekerja penerbitan yang bersolidaritas dengan Palestina.
Penerbitan, bagi kami, adalah pengejawantahan kebebasan, ekspresi budaya, dan perlawanan.
Sebagai penerbit kami berdedikasi untuk menciptakan ruang-ruang bagi suara-suara kreatif dan kritis Palestina dan bagi semua yang berdiri bersolidaritas melawan imperialisme, Zionisme, dan kolonialisme-pemukim.
Kami pertahankan hak kami untuk menerbitkan, menyunting, menyebarluaskan, berbagi, dan mendebatkan karya-karya yang menyerukan pembebasan Palestina tanpa takut dituding ini-itu. Kami tahu bahwa inilah peran kami dalam perlawanan.
Pembungkaman atas para penulis Palestina hanya memperkeras rasa takut akan resistensi literer Palestina dan berkontribusi kepada pencurian tanah dan genosida atas bangsa Palestina.
Rasa takut yang sama yang ada di balik bom-bom, perobohan gedung-gedung, penculikan dan penyiksaan para tahanan Palestina, adalah rasa takut yang mencengkeram arsip-arsip Palestina dalam kontrol Israel.
Seperti dibilang oleh penulis Ghassan Kanafani, “cita-cita Palestina bukanlah cita-cita bagi orang Palestina saja, melainkan cita-cita bagi setiap revolusioner.” Dia mengingatkan bahwa tak satu pun dari kita bebas sebelum kita semua bebas.