Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau kita kenal dengan Imam al-Ghazali merupakan seorang filsuf dan teolog muslim terkemuka. Lahir di Thus pada 1058 M/450 H dan meninggal pada 1111 M/505 H. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mendalami dan mengajarkan pengetahuan. Ia dianggap sebagai pembaharu keimanan pada abad ke-5, yang menurut hadis kenabian muncul setiap 100 tahun sekali untuk memulihkan iman komunitas Islam. Karya-karyanya sangat diakui sehingga dianugerahi gelar Hujjatul Islam (Bukti Islam).
Karya-karyanya sangat fenomenal dari berbagai bidang keilmuan, terutama filsafat, tasawuf, dan logika. Salah satu karya terbaiknya adalah Ihya ‘Ulumiddin yang mencakup hampir semua bidang ilmu Islam, seperti fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Selain Ihya Ulumiddin, di bawah ini adalah karya-karya Imam al-Ghazali yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia yang tidak kalah fenomenal dari Ihya ‘Ulumiddin.
1. Hidup di Dunia Apa yang Kau Cari? (Raudhah ath-Thalibin)
Ungkapan “hidup itu singkat” baru benar-benar kita pahami apabila ada kawan, saudara, ataupun orang terdekat kita yang meninggal dunia. Selebihnya, kita sering kali tenggelam dalam euforia duniawi dan rutinitas sehari-hari yang kerap melenakan. Dalam hidup yang sebentar ini, apa sejatinya yang kita cari? Apa tujuan hakiki yang ingin kita capai?
Melalui buku ini, Imam al-Ghazali berusaha untuk membantu kita mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas yang terlihat sederhana, tapi mampu menghentak kesadaran kita.
Buku ini diambil dari salah satu risalah Imam Ghazali yang berjudul Raudhah at-Thâlibîn wa ‘Umdah as-Sâlikîn (Taman Para Pencari Kebenaran dan Pedoman Para Pencari Tuhan). Buku ini berisi 43 tahapan yang diuraikan secara rinci oleh Imam al-Ghazali yang dapat menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Juga tentu saja dapat menjadi bekal dalam mengarungi tiga fase kehidupan setelah kematian dan membantu dalam menemukan tujuan hidup hakiki selama mampir di dunia sementara ini: ridha Allah swt. Kami berharap bekal dari Sang Hujjatul Islam ini dapat dipelajari dan diamalkan di tengah-tengah situasi yang kering dari nilai-nilai spiritual seperti saat ini.
Berdasar pada perenungan inilah Turos Pustaka memberikan judul terjemahan kitab ini dengan “Hidup di Dunia Apa yang Kau Cari?: 43 Tahapan untuk Mengenali Hakikat Diri dan Tuhan”. Sebuah ikhtiar untuk menyuratkan makna tersirat yang disampaikan Imam al-Ghazali dalam kitab ini kepada para pembaca, agar bisa ditangkap lebih mudah maksud dan tujuannya.
2. Resep Bahagia Imam al-Ghazali
Siapa yang tidak ingin bahagia? Pasti tidak ada. Semua orang ingin merasakan kebahagiaan. Namun mengapa banyak orang yang mencari kebahagiaan, tapi tidak kunjung memperolehnya? Bagi sebagian orang yang sudah bergelimang harta, jabatan, dan kesenangan dunia, tidak juga serta merta merasa bahagia. Bahkan bagi yang meyakini kebahagiaan akan dicapai dengan menikah dengan orang yang dicintai, bisa juga berakhir dalam kubangan kepedihan.
Imam al-Ghazali (1058-1111 H), seorang ulama tasawuf legendaris menjabarkan pada kita semua dalam kumpulan risalah (kitab tipis) ini, mengenai makna kebahagiaan sejati. Karena bagaimana pun juga, bahagia seperti apa yang hendak diperoleh, sangat menentukan cara kita untuk menggapainya. Kerangka utama mengenai kebahagiaan sejati bagi seorang hamba, secara khusus dibahas dalam Kimiyâ’ as-Sa’âdah (Proses Kebahagiaan). Imam al-Ghazali dalam risalah ini menegaskan bahwa kebahagiaan manusia tidak cukup hanya yang bersifat jasmani saja. Jauh lebih mulia dari itu, menurut beliau, kebahagiaan hakiki manusia justru bisa dicari lewat jalan mengenal dirinya sendiri, lalu mengenal Tuhannya (makrifatullah).
Berbekal resep bahagia yang diterangkan dalam Kimiyâ’ as-Sa’âdah, yaitu dengan mengenali diri dan kemudian mengenal Allah swt., kita bisa menelusuri resep kebahagiaan dari berbagai sudut pandang dalam 7 risalah lainnya. Yaitu, Ar-Risâlah al-Wa’dziyyah (Untaian Nasihat Keimanan), Ayyuhâ al-Walâd (Wahai Anakku, Amalkan Apa yang Kau Ketahui), Mi‘râj as-Sâlikîn (Tangga-tangga Para Salik), Misykât al-Anwâr (Cahaya di Atas Cahaya), Minhâj al-‘Ârifîn (Jalan Para Pencari Tuhan), Al-Adab fi ad-Dîn (Etika dalam Beragama), dan Risâlah at-Thair (Risalah Burung).
3. Kitab Puasa
Tiap kali terjadi peristiwa baru dalam kehidupan umat, pasti akan memunculkan permasalahan fikih baru yang mendesak untuk dijawab. Sebab itulah ilmu fikih harus terus berkembang seiring bergulirnya kehidupan umat Islam. Termasuk juga permasalahan tentang puasa.
Kitab Puasa hadir sebagai tuntunan lengkap berbagai masalah fikih kontemporer seputar puasa yang disusun berdasarkan rujukan karya para ulama. Jadi, selain berisi uraian penuh hikmah dari kitab Asrar ash-Shaum (Rahasia-Rahasia Puasa) karya Imam al-Ghazali dan Maqashid ash-Shaum (Haluan-Haluan Puasa) karya Syekh Izzuddin bin Abdussalam, buku ini juga dilengkapi dengan 30 tanya jawab terkini.
Menariknya lagi, buku ini tidak hanya membahas puasa dari aspek hukum Islam (fikih) saja. Akan tetapi dapat dilihat aspek spiritualnya (tasawuf). Sang Hujjatul Islam banyak mendedah sisi ruhani yang terkandung di balik rahasia puasa. Sedangkan Sulthanul Ulama, meski sama-sama berlatar tasawuf, lebih banyak menyoroti aspek hukum Islam puasa berlandaskan pada nash al-Quran dan sunah Nabi. Sebuah kolaborasi yang sangat dahsyat dari dua ulama hebat.
4. Nasihat Pernikahan Imam al-Ghazali
Pernikahan merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah swt. Tapi mengapa, meski bertujuan mulia, banyak pernikahan yang tidak bahagia dan berakhir cerai? Bahkan, pasangan yang dianggap paling serasi sekalipun tak luput dari isu perceraian keluarga.
Sebenarnya, bagaimana agar pernikahan kita selalu mendapatkan kondisi sakinah mawadah wa rohmah, serta tidak karam sebelum sampai tujuan? Pertama, yang perlu diingat, tidak ada pernikahan yang sempurna. Kebahagiaan pernikahan adalah proses yang dilalui bersama. Kedua, ikuti saja Nasihat Pernikahan karya Imam al-Ghazali ini.
Ditulis sejak abad ke-12 M, buku ini merupakan kitab referensi abadi soal pernikahan yang sederhana tapi mengena, dan masih kontektual dengan zaman sekarang. Dalam buku ini, beliau memberikan nasihat-nasihat dasar soal persiapan pernikahan, prosesi pernikahan hingga kiat-kiat menekan syahwat perut dan kemaluan. Sebuah buku yang sangat penting untuk siapa pun yang mau menikah maupun pasangan yang sudah menikah, guna mewujudkan keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah wa rahmah).
5. Kitab Minhajul Abidin
Bagaimana menemukan kehidupan yang damai dengan jiwa yang tenang, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak? Tidakkah itu kondisi yang kita idam-idamkan?
Kitab di tangan Anda ini mencoba menawarkan jawaban yang esensial untuk pertanyaan di atas. Berjudul lengkap Minhajul Abidin Ilal Jannah Rabbil Alamin, secara harfiah kitab ini berarti Jalan atau Pedoman Terang Ahli Ibadah Menuju Surga Tuhan Pencipta Alam. Kitab tasawuf masterpiece karya Imam Al-Ghazali ditulis pada fase 1110-1111 M, dan merupakan kitab terakhir Sang Hujjatul Islam, tepatnya dua tahun sebelum ia wafat.
Sang genius dari Thus, Khurasan ini menghendaki sebuah kitab yang bisa diterima dan dibaca oleh semua orang, alih-alih orang atau golongan tertentu saja seperti kitab-kitab sebelumya, seperti Ihya Ulumiddin yang terdapat kritikan keras para ulama tentangnya karena terdapat hadis lemah dan asing di dalamnya. Dalam kitab ini, Al-Ghazali memakai istilah ‘aqobah yang berarti jalan mendaki yang sukar ditempuh. Menurutnya, ada 7 ‘aqobah yang dapat menghambat kualitas ibadah dan komunikasi personal seorang hamba dengan Tuhannya. Apa itu? Temukan jawabannya dalam buku ini.