Saya mengawali tulisan-tulisan rutin di Substack pada bulan Maret 2023 dengan serial tulisan “Ngaji Sanusi di Era Teknologi”. Sebagaimana pernah saya tulis, tujuan awal saya menulis teologi adalah semata-mata menuliskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu saya selama ini. Pilihan saya jatuh pada Aqidah Sanusiyah karena karya tersebut sangat berkesan bagi saya pribadi. Imam Sanusi mampu merangkum argumen-argumen inti yang membuktikan secara rasional kebenaran pokok-pokok keimanan dalam dua kalimat syahadat dengan ringkas, jelas, dan terstruktur.
Alhamdulillah tidak sedikit yang kemudian membaca dan mengapresiasi serial tulisan tersebut. Ada kawan-kawan lulusan pesantren yang sudah pernah mengaji Aqidah Sanusiyah tapi merasa mendapat “aransemen” baru lewat serial tulisan tersebut karena banyak menyinggung perkembangan sains modern, perspektif yang mungkin tidak didapatkan semasa di pesantren. Ada juga kawan-kawan yang belum pernah mengenal karya Imam Sanusi dan memiliki background sains atau engineering. Kebanyakan mengapresiasi bagaimana saya berusaha menjelaskan relasi sains modern yang selama ini mereka pelajari di kampus dengan teologi klasik ala Imam Sanusi. Ada juga yang ternyata memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan saya dan karenanya terbantu lewat penjelasan di serial tulisan tersebut.
Selang beberapa waktu, saya kemudian dikontak mas Farobi dari Turos Pustaka. Kami sebelumnya sempat berinteraksi saat saya diminta membantu menjadi penyunting ahli yang mengecek hasil terjemahan buku Islam dan Evolusi karya Shoaib Malik. Tadinya saya mengira topik obrolannya masih soal buku Shoaib tersebut. Saya pun terkejut saat mas Farobi kemudian menawarkan untuk menerbitkan serial tulisan saya menjadi sebuah buku. Saya tidak langsung mengiyakan tawaran tersebut.
Ada beberapa hal yang membuat saya ragu saat itu. Pertama, karena memang tulisan “Ngaji Sanusi” tidak pernah saya niatkan untuk menjadi buku, tapi semata-mata artikel berseri di Substack. Karenanya faktor-faktor seperti panjang tulisan, kedalaman pemaparan, ataupun penggunaan diksi bahasa tidak pernah benar-benar saya rancang khusus layaknya buku yang mesti mempertimbangkan segmen pembaca. Saya menulis bebas saja, mengalir tanpa kekangan. Faktor lain yang juga menjadi pertimbangan adalah saya belum pernah menulis buku bertema serius seperti ini. Lagipula, siapa sih saya ini kok berani-beraninya menerbitkan penjelasan atas karya Imam Sanusi padahal background saya sendiri adalah engineering? Faktor lain yang juga krusial adalah fakta bahwa saat mendapatkan penawaran tadi serial Ngaji Sanusi bahkan belum selesai. Saat itu pembahasan baru sampai di sifat yang mungkin bagi Tuhan. Masih ada cukup banyak segmen yang belum saya singgung dan saya tidak tahu apakah bisa segera menyelesaikan seluruh serial tulisan tersebut dalam waktu singkat.
Setelah menimbang-nimbang dan berdiskusi, saya kemudian berhasil diyakinkan dengan alasan sederhana: penerbit merasa bahwa karya yang mengulas teologi Islam dalam perspektif sains modern sangat dibutuhkan generasi muda saat ini. Sebetulnya, bahkan sampai saat ini, saya masih belum sepenuhnya yakin apakah alasan yang diberikan saat itu betul-betul valid. Sebagai seorang yang bergelut di bidang ilmu eksakta, ketiadaan data yang lengkap tentu membuat saya tidak bisa buru-buru mengambil kesimpulan. Tapi, dengan pengalaman yang dimiliki Turos Pustaka saat berinteraksi dengan pembaca-pembaca mereka serta beberapa tanggapan yang saya rasakan saat menulis Ngaji Sanusi, saya punya hipotesa bahwa alasan yang disampaikan penerbit di atas bisa jadi valid. Maka, dengan dugaan kuat adanya manfaat yang bisa didapatkan pembaca yang lebih luas dari tulisan saya, saya pun menyetujui penerbitan serial Ngaji Sanusi.
Beberapa bulan usai diskusi berlalu, saya dan penerbit pun kemudian menyiapkan buku ini dengan serius. Naskah yang belum selesai segera saya rampungkan. Pemilihan judul baru pun kami lakukan. Judul awal, “Ngaji Sanusi di Era Teknologi” kami anggap akan terbatas pada segmen tertentu yang sudah mengenal Imam Sanusi. Judul “Logika Keimanan” kami sepakati karena dirasa merangkum karya tersebut dengan baik sekaligus bisa menjangkau kalangan yang lebih luas. Naskah kemudian juga mendapatkan komentar dan apresiasi dari tokoh-tokoh yang selama ini saya kagumi dan dapatkan manfaat dari tulisan-tulisannya, seperti Pak Dr. Fahruddin Faiz, Mas Azis Anwar Fachrudin, Kyai Abdul Wahab Ahmad, dan Dr. Shoaib Ahmed Malik.
Alhamdulillah, buku “Logika Keimanan” kini sudah bisa didapatkan pembaca. Pasti akan ada mereka yang setuju ataupun tidak setuju. Bagaimanapun, topik buku tersebut bisa dibilang sangat sensitif di tengah kultur masyarakat kita. Apa pun itu, saya bersyukur bisa berkesempatan menulis buku ini. Semoga para pembaca bisa mendapat manfaat meski tak banyak dari karya tersebut. Dan semoga, dengan wasilah buku tersebut, Gusti Allah menganugerahkan rahmat-Nya yang tak bertepi bagi saya, keluarga, dan guru-guru saya.
Wa shallallahu ‘ala sayyidina wa maulana Muhammad wa ‘ala ‘alihi wa shohbihi wa sallam.
Wa allahu subhanahu wa ta’ala a’lam. Wa huwa hasbuna wa ni’mal wakil.