Pada hari Jumat pertengahan bulan Syawal tahun 545 H, Syekh Abdul Qadir Jailani berkhotbah di madrasahnya dengan mengutip salah satu hadis nabi yang artinya:
“Kosongkanlah diri kalian dari kecemasan duniawi semampu kalian.”
Ia mengutip hadis di atas untuk mengingatkan jamaah pengajiannya untuk tidak terlalu bergantung pada dunia. Terlalu menggantungkan diri kepada dunia bisa mengarahkan seseorang pada ketamakan. Dan ketamakan, menurutnya, bisa mendorong seseorang untuk berani menjual agama dengan imbalan yang sedikit.
Maksud dari imbalan yang sedikit adalah menukar yang abadi dengan yang fana sehingga tangan orang itu kosong tanpa ada yang tersisa. Mengganti yang kekal dengan yang fana merupakan tanda lemahnya iman. Di sinilah letak pentingnya mengapa seseorang harus senantiasa berusaha memperkuat dan menyempurnakan keimanan kepada Allah swt.
Iman yang kuat dan sempurna akan menggerakkan seseorang untuk mengambil sesuatu yang abadi, bertawakal kepada Allah swt., tidak menyembah berhala, dan meninggalkan segala sesuatu selain Allah dengan bekal hati yang ikhlas.
Hati yang ikhlas ini bermakna hati yang suci dari selain Allah, yang dipenuhi keimanan, pengetahuan, ilmu, dan ketidakbutuhan pada selain Allah. Hati yang ikhlas adalah hati yang meminta segala sesuatu kepada Allah dan tidak merendahkan diri di hadapan makhluk.
“Merendahkan diri hanya pantas kepada Allah, bukan pada yang lain,” kata Syekh Abdul Qadir jailani, “Seharusnya hubunganmu dengan Allah itu semata-mata demi Allah, bukan demi yang lain.”
Hati yang ikhlas juga akan menghindarkan seseorang dari mempertontonkan amal perbuatannya. Hal ini dikarenakan menunjukkan amal perbuatan di hadapan makhluk sama dengan tidak memiliki amal perbuatan sedikit pun. Amal perbuatan yang baik itu kosong dari pamrih, tidak tampak di permukaan, kecuali ibadah wajib yang memang harus ditunjukkan.
Inilah mengapa, di akhir pengajian, Syekh Abdul Qadir Jailani menuturkan bahwa sesungguhnya fondasi amal perbuatan terletak pada pengesaan Tuhan (tauhid) dan keikhlasan. Seseorang yang tidak memiliki tauhid dan keikhlasan artinya tidak mempunyai amal perbuatan baik.
“Karena itu, kokohkanlah fondasi perbuatan baikmu dengan tauhid dan keikhlasan. Kemudian, bangunlah perbuatan-perbuatan baik dengan daya dan kekuatan Allah swt., bukan dengan daya dan kekuatanmu.”
Allahu A’lam.
Pingback: Riwayat Hidup Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Ulama Fikih dan Ahli Tarekat Pengarang Kitab Futuhul Ghaib - Turos Pustaka