Ulama Fikih dan Ahli Tarekat Pengarang Kitab Futuhul Ghaib
Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077–1166 M) adalah ulama fikih dan ahli tarekat yang sangat dihormati oleh semua kalangan umat Islam. Karya ilmiahnya sangat banyak, mulai dari ilmu fikih, tasawuf, hingga tafsir. Salah satunya adalah Kitab Futuhul Ghaib.
Selain itu, tingkat kesalehannya yang amat tinggi membuatnya sebagai panutan bagi sekian ulama, di antaranya Ibnu Katsir dan Ibnu ‘Arabi. Oleh karena itu, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyandang gelar Sulthanul Aulia, raja atau pemimpin para wali.
Masa Kecil
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dilahirkan di Jailan (Jilan), Persia pada tahun 470 H. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, sehingga ia pun menjadi yatim. Paruh pertama hidupnya ia jalani bersama sang ibu.
Kala usianya menginjak 18 tahun, ia pergi menuntut ilmu ke Baghdad, Irak, tepatnya pada tahun 488 H. Tahun ini bertepatan dengan tahun al-Imam Abu Hamid al-Ghazali tidak lagi memberikan pengajaran di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad dan memilih melakukan uzlah.
Garis Keturunan
Garis keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dari sisi ayahnya bersambung hingga kepada Sayidina Hasan ra. yang bergelar as-Sabth. Adapun dari sisi ibunya, perlu diketahui bahwa garis keturunan beliau bersambung hingga kepada Sayidina Husain.
Tak hanya itu, garis keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga bersambung kepada tiga khalifah lainnya, yaitu Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan.
Pendidikan
Syekh Abdul Qadir memulai riwayat pendidikan sejak ia bertolak ke Baghdad tahun 488 H. Kala itu, Baghdad merupakan salah satu pusat peradaban dan ilmu pengetahuan di antara wilayah-wilayah Islam lainnya. Sejumlah tokoh kenamaan dari berbagi disiplin ilmu muncul dari sana.
Dalam Kitab Futuhul Ghaib terbitan Turos Pustaka dikisahkan, dalam pengembaraannya menuntut ilmu, Syekh Abdul Qadir mendatangi seluruh pengajian tokoh fikih dan majelis ahli hadis. Selama lebih dari 30 tahun, kesehariannya ia habiskan untuk belajar ke sejumlah majelis ilmu, di antaranya ilmu akhlak dan tasawuf.
Di tahun 521 H, Syekh Abdul Qadir menimba ilmu kepada Syekh Abu Sa’id al-Makhrami al-Hanbali di madrasahnya yang terletak di kawasan Bab al-Azajj, Baghdad. Di situ Abu Sa’id mengajar ilmu fikih mazhab Hanbali.
Syekh Abdul Qadir membantu Syekh Abu Sa’id mengajar hingga sang guru wafat. Semenjak itu, seantero negeri mengenalnya sebagai seorang ulama yang sangat luas ilmunya.
Ibnu Rajab dalam kitab Dzail Thabaqât al-Hanâbilah, menggambarkan sosok dan kapasitas keilmuan beliau demikian:
“Syekh Abdul Qadir menguasai 13 bidang disiplin ilmu. Para jamaah ada yang bertanya tentang materi tafsir di hadapan beliau. Ada yang bertanya materi hadis. Ada yang bertanya tentang mazhab, khilafiah, ushul fikih dan nahwu. Fatwa yang beliau keluarkan berlandaskan pada mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal (Hanbali). Setelah zuhur, beliau biasanya memberikan materi qira`at.”
Sementara al-Imam an-Nawawi mengungkapkan, “Syekh Abdul Qadir adalah gurunya para ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali di Baghdad. Dialah manusia paling pintar di zamannya. Tak terhitung banyaknya orang yang menjadi muridnya. Para syekh dan ulama sepakat mengagungkan, memuliakan, dan menjadikan pendapat beliau sebagai referensi. Mereka berpatokan kepada beliau dalam penentuan hukum.”
Karamah-karamah
Sebagaimana para wali Allah lainnya, Syekh Abdul Qadir al- Jailani juga memiliki berbagai karamah yang menegaskan betapa agung maqam dan sosok beliau, tidak hanya di mata makhluk, namun juga di sisi Allah. Karamah ini bahkan telah muncul sejak sebelum ibu beliau melahirkannya.
Kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani meriwayatkan bahwa pada malam kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rasulullah beserta para sahabat, para imam, serta para wali, datang mengunjungi Abu Shalih Musa Janaki, ayah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dalam mimpi.
Kepadanya Rasulullah berkata, “Wahai Abu Shalih, kau akan dikarunia putra oleh Allah. Putramu itu bakal mendapat kedudukan tinggi di atas para wali, sebagaimana kedudukanku di atas para nabi. Anakmu itu juga merupakan anakku, kesayanganku, dan kesayangan Allah.”
Diriwayatkan pula, pada malam hari ketika ia dilahirkan, Syekh Abdul Qadir diliputi cahaya sehingga tidak seorang pun mampu melihatnya karena silau. Usia ibunya kala itu pun sudah cukup tua, yaitu 60 tahun. Hal ini juga sesuatu yang tidak biasa.
Karamah lainnya, dikisahkan bahwa pada bulan Ramadhan Syekh Abdul Qadir kecil menolak untuk menyusu kepada ibunya. Dia baru mau menyusu ketika waktu berbuka telah tiba. Banyak pihak memaknai hal ini sebagai tanda bahwa Syekh Abdul Qadir sudah mulai berpuasa sejak masih bayi.
Demikianlah, selain kisah-kisah di atas masih banyak lagi karamah-karamah beliau lainnya. Banyak ulama yang meriwayatkan karamah beliau dalam kitab mereka, di antaranya: beliau bisa mengubah jenis kelamin bayi perempuan menjadi laki-laki, berbuka puasa di banyak tempat dalam satu waktu yang sama, dan lain-lain. Pembaca bisa menemukan karamah-karamah lainnya dalam Kitab Futuhul Ghaib terbitan Turos Pustaka.
Karya Tulis
Syekh Abdul Qadir memiliki banyak karya tulis dalam berbagai bidang yang berbeda-beda, mulai dari Tafsir, Tauhid, hingga Tasawuf. Di antara karya-karya beliau adalah: Kitab Fathurrabbani, Kitab Sirrul Asrar, dan Kitab Futuhul Ghaib.
Anak-anak dan Istri
Allah swt. mengaruniai Syekh Abdul Qadir 12 anak yang semuanya laki-laki. Mereka adalah: Syekh Abdul Wahhab, Syekh Abdur Razzaq, Syekh Abdul ‘Aziz, Syekh Abdul Jabbar, Syekh Abdul Ghafur, Syekh Abdul Ghaniy, Syekh Shalih, Syekh Muhammad, Syekh Musa, Syekh ‘Isa, Syekh Ibrahim, dan yang terakhir Syekh Yahya. Adapun istrinya bernama Fathimah, sang pelayan Tuhan dari Bani Alawi. Semoga Allah mensucikan jiwa mereka seluruhnya.
Wafat
Syekh Abdul Qadir al-Jailani wafat setelah sebelumnya menderita sakit dalam waktu yang cukup singkat. Konon, sakit beliau ini berlangsung hanya satu hari satu malam.
Beliau wafat dalam usia 91 tahun, tepatnya pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awwal, tahun 561 H dan bermakam kota Baghdad, Irak. Sepanjang usia, beliau menghabiskan waktunya untuk berbuat baik, mengajar dan membimbing masyarakat.