KITAB AL-LUMA’ – Jangan sebut dirimu ahlussunnah wal jama’ah sejati, kalau belum membaca kitab penting ini. Inilah naskah klasik karya empunya teologi Asy’ariah, Imam Abu Hasan al-Asy’ari atau lebih dikenal sebagai Imam Asy’ari (873-935 M).
Sayangnya, meski sering dianggap sebagai akidahnya mayoritas umat Islam di Indonesia bahkan dunia, harus diakui tak banyak yang membaca kitab teologi Asy’ariyah ini. Jangankan orang awam, jebolan pondok pesantren pun banyak yang belum menyentuh kitab babon ilmu kalam ini.
Tentu bukan berarti kitab ini sulit dipahami. Dengan memakai metode tanya-jawab dalam penulisannya, Imam al-Asyari berhasil mendedahkan persoalan ketauhidan dengan bernas dan lengkap. Tak heran jika kitab ini ikut serta mendorong kelahiran teologi Asy’ariyah pada abad ke-4 Hijriah. Semoga dengan membaca kitab ini, keimanan kita semakin baik dan terjaga dalam menggapai ridho Allah swt. Selamat membaca!
Siapa penulis buku ini?
Abu al-Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah, Irak, pada tahun 260 H/873 M. Beliau merupakan Pendiri madzhab teologi Asy’ariyah yang lebih dikenal dengan gelar Imam Asy’ari, serta memiliki julukan Nashir ad-Din. Ulama ahli hadis sepakat bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari merupakan salah satu pembesar ahli hadis, sehingga madzhabnya dilandaskan pada asas dasar yang sesuai dengan prosedur Ahli Sunah Waljamaah.
Ketika menginjak usia yang relatif muda, ayah beliau meninggal dunia. Maka, beliau belajar di bawah naungan ayah tirinya, Abu Ali al-Juba`i yang merupakan tokoh Muktazilah1 kala itu. Berkenaan dengan hal ini, al-Hafizh adz-Dzahabi menyatakan, “Abu al-Hasan al-Asy’ari awalnya seorang Muktazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-Juba`i. Kemudian beliau lepaskan pemikiran Muktazilah, lalu menjadi pengikut sunah dan para imam ahli hadis.”
Tajuddin as-Subki menyatakan bahwa selama 40 tahun Abu al-Hasan menganut madzhab Muktazilah sebelum akhirnya Allah melapangkan dadanya, lalu membela agama Allah dengan membantah segala pemikiran yang sesat.
Ibnu ‘Asakir mengisahkan darinya (Abu al-Hasan al-Asy’ari), bahwa ia berkata, “Terbenak di hatiku (Abu al-Hasan), beberapa permasalahan dalam ilmu akidah. Maka, aku pun berdiri untuk menjalankan shalat dua rakaat. Dan aku meminta kepada Allah agar Dia memberikanku petunjuk menuju jalan yang lurus.”
“Aku pun tertidur, tak lama kemudian aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Aku mengadukan beberapa permasalahan kepadanya. Lalu Rasulullah mewasiatkan, ‘Tetapilah sunah-ku.’ Aku pun terbangun dan aku membandingkan beberapa permasalahan ilmu akidah dengan dalil yang aku temukan di dalam al-Quran dan hadis. Kemudian, aku menetapinya dan aku membuang selainnya di balik punggungku.”
Sejak saat itulah beliau berpegang pada prinsip ahli sunah waljamaah, serta menangkis segala pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran ahli sunah. Abu al-Hasan al-Asy’ari memiliki kecerdasan dan ketajaman pemahaman yang sangat luar biasa. Demikian juga, dia dikenal dengan kanaah dan kezuhudanya.
Quotes:
- Dalil atau bukti yang menunjukkan adanya Sang Pencipta ialah manusia yang berada pada puncak kesempurnaan bentuk, sifat, dan akalnya. Sebelumnya berupa nutfah (air mani), lalu bermetamorfosa menjadi segumpal darah (zigat), kemudian menjadi daging dengan darah dan tulang.
- Manusia tidak dapat menciptakan pendengaran ataupun penglihatannya sendiri. Sebagaimana dia pun tak dapat menciptakan anggota tubuh bagi dirinya sendiri.
- Seandainya manusia berusaha sekuat tenaga menghilangkan ketuaan dan renta dari dirinya serta mengembalikan dirinya ke kondisi remaja, hal itu tidak mungkin dapat dilakukannya. Hal ini menunjukkan adanya Sang Pengatur yang mengatur makhluk.
Reviews
There are no reviews yet.