NASIHAT PERNIKAHAN Karya Imam al-Ghazali – Pernikahan merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah swt. Tapi mengapa, meski bertujuan mulia, banyak pernikahan yang tidak bahagia dan berakhir cerai? Bahkan, pasangan yang dianggap paling serasi sekalipun tak luput dari isu perceraian keluarga.
Sebenarnya, bagaimana agar pernikahan kita selalu mendapatkan kondisi sakinah mawadah wa rohmah, serta tidak karam sebelum sampai tujuan? Pertama, yang perlu diingat, tidak ada pernikahan yang sempurna. Kebahagiaan pernikahan adalah proses yang dilalui bersama. Kedua, ikuti saja Nasihat Pernikahan karya Imam al-Ghazali ini.
Ditulis sejak abad ke-12 M, buku ini merupakan kitab referensi abadi soal pernikahan yang sederhana tapi mengena, dan masih kontektual dengan zaman sekarang. Dalam buku ini, beliau memberikan nasihat-nasihat dasar soal persiapan pernikahan, prosesi pernikahan hingga kiat-kiat menekan syahwat perut dan kemaluan. Sebuah buku yang sangat penting untuk siapa pun yang mau menikah maupun pasangan yang sudah menikah, guna mewujudkan keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah wa rohmah).
Siapa penulis buku ini?
Hujjatul Islam al-Imam Abu Hamid al-Ghazali Muhammad bin Muhammad bin Muhammad ath-Thusi, yang memiliki nama panggilan Zainuddin. Ia lahir di kota Thus, Khurasan pada tahun 450 H. Pada masa kanak-kanak, al-Ghazali belajar ilmu fikih kepada al-Imam Ahmad ar-Radzkani di desa Thus. Kemudian ia pergi ke kota Jurjan untuk belajar kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili.
Al-Ghazali mengunjungi Kota Naisabur dan tinggal bersama Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini (419–478 H). Ia pun giat belajar hingga berhasil menguasai kitab al-Muhadzdzab asy-Syâfî’i, masalah-masalah khilafiah, seni berdebat, dua ilmu ushul (ushuluddin dan ushul fikih), serta logika. Ia juga mendalami ilmu kalam dan filsafat.
Al-Ghazali mendatangi kota Baghdad saat berusia 34 tahun. Ketika al-Ghazali mengajar di Madrasah Nizhamiyah, keulamaan al-Ghazali mencapai puncaknya. Majelisnya dihadiri oleh sekitar empat ratus ulama besar, pengikutnya banyak, mengungguli jumlah pengikut para pembesar dan penguasa pemerintahan. Ia menjadi Imam Irak setelah menjadi Imam Khurasan, seperti dikatakan oleh sejawatnya, Abdul Ghafir.
Pada fase ini, al-Ghazali melakukan pembaharuan dalam mazhab fikih. Ia menyusun berbagai karya, mendokumentasikan masalah-masalah khilafiah, dan mengarang kitab tentang ushul fikih.
Al-Ghazali tidak lama tinggal di Naisabur, dan tidak lama pula mengajar di Madrasah Nizhamiyah. Ia meninggalkan tempat itu dan kembali ke Thus. Di dekat rumahnya, ia membangun madrasah untuk para pencari ilmu yang menitikberatkan pada pengajaran tasawuf. Ia pun membagi waktu untuk beberapa kegiatan; menghafal al-Quran, belajar bersama para pendidik hati, mengajar para murid, serta melanggengkan shalat dan puasa. Hal itu dimaksudkan agar waktunya dan orang-orang yang ada di dekatnya tak pernah tanpa guna.
Akhir perjalanannya adalah ketika ia memusatkan perhatiannya untuk mempelajari hadis-hadis Nabi saw. Ia pun belajar kepada para ahli hadis dan mendalami Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Imam al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. Semoga Allah memberinya limpahan rahmat, anugerah, dan kedermawanan-Nya.
Reviews
There are no reviews yet.