Ibnu Hajar al-Asqalani

Sifat dan Sebab Terjadinya Taun dan Hubungannya dengan Wabah dalam Kitab Fikih Pandemi Zakaria al-Anshari

Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam mengutip salah satu perkataan Imam an-Nawawi tentang bentuk penyakit taun.

Dalam kitabnya Tahdzîb al-Asmâ` wa al-Lughât Imam an-Nawawi mengatakan bahwa taun adalah penyakit yang sudah diketahui masyarakat umum, berupa bengkak yang terasa sangat sakit.

Penyakit itu muncul disertai bisul atau borok dengan kulit menghitam di sekelilingnya, atau berubah menghijau atau memerah, diiringi jantung yang berdebar-debar serta muntah-muntah.

Luka-luka yang muncul akibat penyakit ini biasanya muncul di daerah marâq (bagian bawah perut) dan ketiak; pada bagian tangan dan jemari; serta seluruh badan.

Dalam kitab ar-Raudhah, Imam an-Nawawi menyatakan, “Sebagian ulama menafsirkan taun sebagai penyakit yang menghambat peredaran darah menuju berbagai anggota tubuh. Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa taun ialah penyakit bengkak dan pendarahan.”

Masih dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, Abu Ali bin Sina dan beberapa tabib terkemuka lainnya mengemukakan bahwa taun adalah zat beracun yang dapat menyebabkan bengkak atau tonjolan mematikan.

Taun terjadi di bagian tubuh yang lembek dan di daerah maghâbin (ketiak, saluran kemih, paha, dsb.) dari tubuh manusia. Yang paling sering terserang adalah daerah ketiak, belakang telinga, atau batang hidung.

Ibnu Sina menyatakan, “Semua itu terjadi disebabkan darah kotor kemudian berubah menjadi zat beracun yang akan merusak anggota tubuh tertentu dan bagian lain di dekatnya. Kelak akan mencapai jantung dan mengganggu kinerjanya, sehingga menyebabkan terjadinya muntah, pingsan, dan jantung berdebar. Kondisi inilah yang kemudian disebut dengan istilah wabah (waba`), dan sebaliknya.

Ibnu Sina juga mengatakan, “Wabah adalah rusaknya materi udara yang merupakan bahan pembentuk roh dan penopangnya.” Itulah sebabnya, kehidupan makhluk hidup mana pun tidak dapat terjadi tanpa adanya proses penghirupan udara.

Pendapat yang serupa dengan pendapat Ibnu Sina di atas ialah pendapat Alauddin bin Nafis yang menyatakan bahwa wabah muncul dari kerusakan yang dialami materi-materi pembentuk udara, baik yang datang dari langit maupun dari bumi, seperti komet dan meteor yang jatuh pada akhir musim panas, atau air yang warna dan baunya sudah berubah, serta air yang banyak bangkainya.

Sementara itu, menurut Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, kata taun lebih khusus artinya daripada kata wabah.

Perbedaannya tampak jelas dari pernyataan Ibnu Sina berdasarkan hadis dalam ash-Shahîhain (kitab Shahîh al-Bukhâri dan kitab Shahîh Muslim), yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa di gerbang-gerbang kota Madinah ada para malaikat sehingga ia tidak dapat dimasuki taun dan tidak pula dajal.

Dalam kedua kitab itu juga disebutkan sebuah hadis dari Aisyah ra. beriwayat,

“Kami mendatangi Madinah ketika ia merupakan bagian bumi Allah yang paling berwabah.” (al-Hadis)

Di dalamnya, terdapat perkataan Bilal ra., “Wahai Allah, kutuklah Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebab mereka mengusir kami dari tanah kami (Makkah) ke tanah wabah (Madinah).”

Jika memang kata thâ’ûn (taun) di atas berarti wabah, berarti kedua hadis tersebut saling bertentangan. Akan tetapi, kedua hadis itu tidak kontradiktif karena pengertian taun lebih sempit daripada wabah.

Karena kata wabâ` yang dapat ditulis panjang (dengan alif:وَبَاء ) dan dapat juga pendek (tanpa alif: وَبَأ) yang berarti “penyakit yang menyerang banyak orang” (مَرَضٌ عَام).

Sedangkan taun merupakan “serangan jin” yang para tabib tidak mampu mengobatinya, sampai-sampai para tabib paling pintar pun menyatakan bahwa tidak ada obat bagi taun.

Pernyataan di atas tidak bertentangan dengan pernyataan para tabib perihal taun muncul dari zat beracun atau menguatnya aliran darah ke anggota tubuh tertentu, atau terjadi disebabkan rusaknya udara, atau berbagai sebab lainnya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, hal ini bisa terjadi karena tidak menutup kemungkinan bahwa semua itu terjadi akibat adanya serangan tak kasat mata (dari makhluk jin) yang akan menyebabkan munculnya zat beracun atau naiknya tekanan darah.

Apabila memang taun terjadi disebabkan rusaknya udara, maka pernyataan itu menjadi gugur. Sebab, ternyata taun juga terjadi pada musim-musim paling stabil dan di negeri-negeri yang kondisi udaranya paling baik.

Selain itu, masih dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, apabila memang penyebab taun adalah udara, maka semestinya taun akan mengenai semua makhluk hidup dan seluruh bagian tubuh, tetapi ternyata tidak demikian yang terjadi, seperti yang dapat dilihat. Dan Allah Mahatahu.

Salam Literasi Indonesia.

Sifat dan Sebab Terjadinya Taun dan Hubungannya dengan Wabah dalam Kitab Fikih Pandemi Zakaria al-Anshari Read More »

Zakaria al-Anshari, Syaikhul Islam Abad ke-15 M, Pengarang Kitab Lubbul Ushul dan Tuhfah ar-Raghibin (Fikih Pandemi dalam Islam)

1. Garis Keturunan

garis keturunan

Nama lengkapnya adalah Zainuddin Abu Yahya Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari, seorang hakim (qadhi) sekaligus ulama mazhab Syafi’i dalam bidang tafsir, fikih, dan hadis. Beliau merupakan salah satu ulama yang memiliki andil di dalam kodifikasi ilmu Islam sehingga ia dijuluki dengan Syaikhul Islam.

2. Kelahiran

kelahiran

Zakaria al-Anshari dilahirkan di Mesir, tepatnya di Desa Sunaikah, Mesir Timur pada tahun 823 H/1420 M. Masa kecil beliau penuh dengan keprihatinan, karena ayahnya meninggal dunia ketika ia masih balita sehingga Zakaria kecil hidup hanya bersama ibunya.

Diceritakan dari Syekh Shalih ar-Rabi’ bin Abdullah as-Sulami bahwa suatu ketika Syekh Shalih ar-Rabi’ berkunjung ke Desa Sunaikah, kampung halaman Zakaria. Di Desa tersebut, beliau mendapati seorang wanita yang meminta pekerjaan kepadanya untuk kebutuhan keluarganya. Wanita itu tidak lain adalah ibunda Zakaria.

Kemudian ibu Zakaria menitipkan anaknya kepada Syekh Shalih ar-Rabi’ untuk memenuhi kebutuhan belajarnya. Diceritakan bahwa Ibu Zakaria meminta Syekh Shalih untuk membawa Zakaria ke Kairo, supaya dapat menimba ilmu.

Syekh Shalih berkata, “Jika ibu setuju, akan kubawa Zakaria ke al-Azhar untuk membantu pekerjaan sekaligus belajar di sana. Saya akan menanggung kehidupannya.”

Sang ibu pun menyetujuinya demi kebaikan masa depan putranya.

3. Pengembaraan Keilmuan

pengembaraan keilmuan

Semasa di Sunaikah, Zakaria kecil sudah mahir membaca dan menghafal al-Quran, serta mempelajari kitab ‘Umdatul Ahkam dan Mukhtashar at-Tabrizi.

Pada tahun 841 H/1437 M, beliau pergi ke kota Kairo dan belajar di al-Azhar Kairo. Bakat menghafalnya kemudian berlanjut ketika ia menimba ilmu di sini. Dalam rentang waktu yang relatif pendek, Zakaria muda telah menghafal al-Quran dan beberapa kitab, seperti Alfiyah ibnu Malik, al-Minhaj, asy-Syathibiyah, dan lainnya.

Di tengah pengembaraan ilmu yang pertama ini, Zakaria muda sempat pulang ke kampung halamannya untuk bekerja. Namun, beberapa waktu kemudian, ia kembali ke Kairo melanjutkan penggalian ilmu.

Pada masa pengembaraan yang kedua ini, Zakaria al-Anshari mempelajari hampir semua kitab dalam berbagai macam cabang keilmuan, termasuk matematika, seni menulis indah, dan ilmu retorika. Tidak heran jika kemudian guru-gurunya memberikan pujian dan ijazah keilmuan padanya.

Lebih dari 150 ijazah telah diberikan kepadanya, termasuk ijazah dari Ibnu Hajar al-Asqalani, yang menuliskan kata-kata dalam ijazahnya, “Aku izinkan bagi Zakaria untuk membaca al-Qur’an dengan jalur periwayatan yang ia tempuh, dan mengajarkan fikih yang telah dituliskan dan diserahkan al-Imam asy-Syafi’i. Kepada Allah, kami, aku, dan Za¬karia, memohon pertolongan untuk ke¬lak dapat bersua dengan-Nya.”

Pada tahun 850 H/1446 M, beliau meninggalkan Mesir menuju Hijaz untuk menunaikan Ibadah Haji. Di sana, beliau bertemu dengan beberapa Ulama dan belajar kepada mereka, khususnya ilmu hadis, di mana beliau mendapatkan ijazah dengan sanad yang ‘aly dan langka.

Di antara ulama yang memberikan ijazah kepada beliau adalah as-Syarof Abu al-Fath al-Maroghi. Beliau juga bertemu dengan Ibnu Fahd dan dua hakim (Qadhi), Abu al-Yaman an-Nuwairy dan Abu as-Sa’adat Ibnu Zahirah.‎

4. Guru-guru

guru-guru

Imam Zakaria al-Anshari memiliki lebih dari 150 guru yang sangat mempengaruhi dalam keilmuannya. Semua gurunya sangat menguasai dan menonjol di beberapa bidang keilmuan masing-masing. Di antaranya adalah:

• Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengajarkan ilmu hadis, fikih, dan ushul;
• Muhammad bin ar-Rabi dan al-Burhan al-Faqusi al-Bulaisi yang membimbing bacaan al-Qur’an hingga menghafalnya;
• Imam Zainuddin Abu an-Na’im Ridhwan bin Muhammad al-Uqbi asy-Syafi’i yang mengajarkan Qira’at Sab’ah, kitab musnad Imam Syafi’i, Shahih Muslim, Sunan Nasa’i dan lainnya;
• Abu al-Abbas Ahmad bin Ali al-Intikawi, Abu al-fatah Muhammad bin Ahmad al-Ghazi, Abu Hafsah Umar bin Ali, Ahmad Bin Ali ad-Dimyathi, Abu al-Farah Abdurrahman Bin Ali at-Tamimi, dan Syekh Muhammad Bin Umar al-Wasithi al-Ghamri. Mereka semua adalah guru beliau di bidang tasawuf.

5. Murid-murid

murid

Murid-murid Zakaria al-Anshari sangat banyak. Mereka menyebar di berbagai daerah seperti Hijaz, Syam dan kota lainnya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah:

• Ibnu Hajar al-Haitami, pengarang kitab Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj
• Abdul Wahab asy-Sya’rani, dikenal dengan nama Imam asy-Sya’rani
• Syamsuddin ar-Ramli, pengarang kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhi al-Minhaj
• Al-Khatib asy-Syarbini, pengarang kitab Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj
• Nuruddin al-Mahalli
• Badruddin al-Ghazi
• Muhammad bin Ahmad al-Hashkafi
• Badaruddin Hasan bin Muhammad ash-Shafadi.

6. Karya-karya

karya-karya

Tercatat lebih dari 50 karya tulis yang telah beliau tinggalkan. Di antaranya ialah:

• (لُبُّ الْأُصُوْل)
• (إعْرَابُ اْلقُرَآنِ الْعَظِيْم)
• (أَدَبُ القَاضِي عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الشَّافِعِي)
• (الدُّرَرُ السّنية على شرح الألفية [حاشية على شرح ألفية ابن مالك])
• المطلع شرْح إيْسَاغُوْجِي))
• (أسْبَابُ الْمَوْجُوْدَات)
• (تَلْخِيْص أَسْئِلَة اْلقُرْآنِ وَأَجْوِبَتِها لِأَبِي بَكْر الرَّازِي صاحب مختار الصحاح)
• فَتْحُ اْلوَهَّاب بِشَرْحِ مِنْهَجِ الطُّلَّاب))
• (فَتْحُ رَبِّ اْلبَرِيَّة بِشَرْحِ الْقَصِيْدَة الخزرجية)
• (فَتْحُ الرَّحْمَان)

•تُهْفَةُ الرَّاغِبِيْن فِي بَيَانِ عَمْرِ الطَّوَاعِيْنَ (Fikih Pandemi dalam Islam)

7. Wafat

wafat

Zakaria al-Anshari wafat pada tanggal 4 Zulhijah 926 H/27 November 1520 M dalam usia 100 tahun lebih, dan dikebumikan di kota Qarafah, Kairo dekat makam Imam asy-Syafi’i. Selama itu, hidupnya diisi penuh dengan ilmu, pendidikan, dakwah, dan mengajar, hingga ia diuji dengan kebutaan mata sebelum akhirnya meninggal dunia.

 

Salam Literasi Indonesia

Zakaria al-Anshari, Syaikhul Islam Abad ke-15 M, Pengarang Kitab Lubbul Ushul dan Tuhfah ar-Raghibin (Fikih Pandemi dalam Islam) Read More »

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam: Bagaimana Dahulu Umat Islam Menghadapi Pandemi dan Apa Saja Pelajaran yang Bisa Kita Ambil Sekarang?

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Belakangan ini, buku Badzlul Ma’un fi Fadhli ath-Tha’un (pemberian bantuan kepada para penderita penyakit taun), karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449 M), banyak dicari-cari orang. Hal ini tak lepas dari isi kandungannya yang sangat sesuai dengan konteks sekarang, yaitu membahas pandemi dengan segala permasalahan dan dinamikanya dalam sudut pandang Islam.

Walaupun Covid-19 berbeda dengan taun, tetapi di antara keduanya memiliki kesamaan yang mencolok, yaitu sama-sama menular, cepat, dan mematikan

Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1416 M, dan sempat berhenti sebelum kemudian diselesaikan pada tahun 1430 M setelah para sahabat dan murid-muridnya meminta untuk mengumpulkan hadis yang berkaitan tentang taun. Selain itu, faktor penulisan buku ini juga karena ketiga putri Ibnu Hajar yang bernama Fathimah, Zeinah, dan Ghaliyah meninggal karena wabah taun.

Sayangnya, buku ini belum ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sampai akhirnya Turos Pustaka menjadi penerbit pertama di Indonesia yang menerjemahkan buku ini. Penerjemahnya, Ustadz Fuad Syaifudin Nur, penerjemah kitab Al-Umm Imam Syafi’i.

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam berisikan hadis-hadis dengan sanad (mata rantai periwayatan) yang sangat lengkap dan rinci, sehingga validitas setiap informasi di dalamnya dapat dipertanggungjawabkan.

Sangat penting untuk dicatat di sini, buku ini sangat relevan untuk menjadi acuan umat muslim Indonesia bahkan dunia dalam menghadapi masa-masa pandemi. Karena, dinamika yang direkam dalam buku ini sama persis dengan apa yang terjadi pada masa sekarang. Beberapa poin pembahasan penting dalam buku ini antara lain:

[irp]

1. Sejarah Asal-usul Pandemi (Taun) menurut Ibnu Hajar al-Asqalani

Berlandaskan pada hadis sahih, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa wabah taun sudah ditemukan pada masa Nabi Musa as. dan Bani Israil. Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya sakit―atau penyakit―ini adalah azab yang dengannya diazab orang-orang sebelum kalian”. (Dalam satu riwayat lain: Yang dengannya sebagian Bani Israil telah diazab)

Sepeninggal Nabi Musa as. dan Nabi Harun as., Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as. bahwa Bani Israil terlalu banyak membangkang, sehingga Dia memberi mereka tiga pilihan sebagai tebusan:

1) Ditimpa kekeringan selama dua tahun
2) Musuh berkuasa atas mereka selama dua bulan
3) Dikirimkan taun kepada mereka selama tiga hari.

Seperti yang dituliskan dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, atas kesepakatan Bani Israil, Nabi Daud as. memilihkan untuk mereka opsi yang terakhir, yaitu ditimpakannya wabah taun selama tiga hari. Setelah itu, tewaslah dari kalangan Bani Israil sebanyak tujuh puluh ribu orang―ada yang menyatakan seratus ribu orang―sampai matahari condong ke barat. Nabi Daud as. pun memohon kepada Allah agar taun diangkat, lalu kemudian diangkat dari mereka.

2. Definisi Pandemi Jenis Taun

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Kata taun serapan dari bahasa Arab طَاعُوْنٌ dibaca “thâ’ûn”. Dalam Bahasa Indonesia, “taun” berarti: penyakit menular; wabah; epidemi.

Ibnu al-Arabi menyatakan, kata tha’în digunakan untuk menyebut korban taun. Disebutkan bahwa taun merupakan penyakit yang menyerang banyak orang dan dapat menyebabkan kematian seperti penyakit dzabhah (angina), semacam penyakit yang menyerang tenggorokan atau peradangan di dalam tubuh yang menyebabkan sesak napas.

Imam Nawawi menyebutkan bahwa sebagian ulama menafsirkan taun sebagai penyakit yang menghambat peredaran darah ke berbagai anggota tubuh. Mayoritas ulama menyatakan bahwa taun adalah penyakit bengkak dan pendarahan.

Lebih lanjut lagi, dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, Ibnu Sina dan para tabib terkemuka pada masanya menyatakan bahwa taun adalah material beracun yang dapat menyebabkan bengkak atau tonjolan mematikan. Ia menyerang daerah ketiak, saluran kemih, paha, dan lain-lain dari tubuh manusia.

[irp]

3. Penyebab Munculnya Pandemi

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Dikutip dari Alauddin bin Nafis dalam kitab Al-Mujaz fi ath-Thibb, bahwa wabah terjadi karena kerusakan yang dialami materi-materi pembentuk udara, baik penyebab dari langit maupun dari bumi.

Penyebab dari bumi ialah air yang warna dan baunya sudah berubah, serta banyak bangkai ditemukan di sana, seperti di medan perang yang banyak mayat berjatuhan.

Mengenai penjelasan ini, WHO menyebutkan bahwa virus paling mematikan sepanjang sejarah dunia adalah flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918 M yang terjadi di bulan-bulan terakhir perang dunia I. Tidaklah berlebihan jika dikatakan penyebab flu mematikan kala itu ialah perang dunia yang telah memakan banyak korban.

Penyebab dari langit, yaitu seperti komet dan meteor yang jatuh pada akhir musim panas dan musim gugur, banyaknya hembusan angin utara dan angin timur pada bulan kanûnain (Desember dan Januari).

4. Yang Perlu Dilakukan Ketika Pandemi Melanda

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

A. Jaga Jarak (Social Distancing)

Pada masa pemerintahan Umar ra., taun terjadi di Syam pada bulan Muharram dan Shafar yang menelan banyak korban. Orang-orang pun mengirim surat kepada Umar ra., mengadukan masalah itu. Lalu Umar ra. keluar, dan ketika dia tiba di dekat Syam―daerah Sargh, terdengar kabar bahwa taun yang terjadi di Syam bertambah lebih parah dari sebelumnya.

Para sahabat pun berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila taun terjadi di suatu daerah, maka janganlah kalian memasuki daerah itu. Apabila ia terjadi di suatu daerah yang kalian diami, maka ia bukan atas kalian (sebagai azab).” Umar pun kembali sampai taun hilang dari Syam.

Kisah tersebut terekam dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam dan Hadis di atas menjadi landasan “social distancing” bagi umat Islam. Tentu, ini merupakan satu-satunya tindakan (vaksin) yang harus dilakukan oleh seluruh umat dalam melewati masa pandemi.

B. Senantiasa Berdoa

Masalah doa yang sesuai dengan tuntunan sunah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan, melalui Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, bahwa para ahli fikih menyerahkan bacaan doa kunut (qunut nazilah) kepada sepenangkapan pemahaman orang yang mendengar.

Doa yang disebutkan terakhir yang diambil dari ulama salaf oleh Ibnu Hajar dalam buku ini, terkait dengan kunut, yaitu doa sebagai berikut.

“Wahai Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari bala yang berat pada jiwa, keluarga, harta, dan anak-anak kami.”

Namun, terkait berdoa bersama, seperti istigasah, shalat istisqa`, dan sebagainya, Ibnu Hajar menyebut hal demikian sebagai perbuatan bidah.

Maka, dapat disimpulkan bahwa berdoa dan beribadah harus mengikuti protokol yang telah ditentukan ulama tepercaya atau pemerintah setempat.

5. Data Berbagai Pandemi dalam Sejarah Islam

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencatat data-data jumlah korban dan daerah yang terjangkit wabah taun, dari kejadian pada masa Rasulullah saw. sampai yang terjadi pada masa ia menyelesaikan kitab Badzlul Ma’un fi Fadhl ath-Tha’un.

Dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam ini, dinyatakan ada 5 peristiwa taun besar yang pernah menimpa sepanjang sejarah Islam.

1) Taun Syirawaih, terjadi di Madain pada masa Rasulullah saw pada tahun keenam Hijriah.
2) Taun Amwas, wabah ini terjadi pada masa Umar ra. pada tahun 16 H/640 M. Amwas merupakan salah satu daerah yang ada di kawasan Syam, dan taun mematikan ini terjadi di daerah tersebut.
3) Taun Jarif, terjadi pada tahun 69 H/689 M. Dinamakan “Taun Jarif”, dari akar kata “Jarofa” yang artinya menyapu bersih, karena ia menyapu manusia sebagaimana banjir besar menyapu bersih tanah-tanah.
4) Taun Fatayat, terjadi pada tahun 87 H/706 M. Fatayat artinya para gadis, dinamakan “Taun Fatayat” disebabkan banyaknya perempuan remaja yang tewas.
5) Taun Salam bin Qutaibah, terjadi pada tahun 131 H/749 M. Pandemi ini terjadi di Bashrah pada bulan Rajab, menjadi kian parah pada bulan Ramadhan, lalu mereda pada bulan Syawwal. Jumlah korban meninggal pada saat itu mencapai seribu orang setiap hari. Sebelumnya, telah terjadi Taun Asyraf, Taun Adi bin Arthah, Taun Ghurab. Namun, kejadian sebelumnya tidak disebutkan jumlah korban.

Pandemi ini (taun) terus terjadi dengan selang puluhan atau ratusan tahun sekali, sampai kejadian yang menimpa pada masa Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dan ketiga putri kesayangannya meninggal terjangkit wabah tersebut.

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri dengan 3M! (Memakai Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu sehat sentosa dalam lindungan-Nya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam: Bagaimana Dahulu Umat Islam Menghadapi Pandemi dan Apa Saja Pelajaran yang Bisa Kita Ambil Sekarang? Read More »

Protokol Kesehatan di Kala Pandemi ala Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam

Pada akhir tahun 2019 dunia digemparkan virus yang menyebabkan wabah penyakit menular, yang kemudian dinamakan dengan istilah covid-19 (Corona Virus Disease tahun 2019). Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai Pandemi. Wabah ini menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Hal ini membuat semua kalangan masyarakat bertindak dalam menyikapi penyebaran wabah tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat; tindakan tegas dari pihak pemerintah pun turut dijalankan.

Namun, tahukah kita, berbagai usaha yang telah dianjurkan selama masa pandemi versi Islam? Berikut ini beberapa panduan dari Ibnu Hajar al-Asqalani di kala pandemi yang disarikan dari Kitab Wabah dan Taun dalam Islam yang masih relevan untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menyikapi covid-19.

[irp]

1. Karantina wilayah (lockdown dalam bahasa Inggris)

Karantina wilayah (lockdown dalam bahasa Inggris)

Sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran virus, karantina wilayah adalah satu-satunya solusi yang sangat jitu. Pasalnya, ketika seorang yang terinfeksi virus berkunjung ke suatu daerah, secara langsung akan menularkan kepada orang yang kontak dengannya. Maka, karantina wilayah merupakan sebuah tindakan awal yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus.

Tahukah kita? Ternyata, tindakan ini sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, pada masa Rasulullah saw., beliau pernah memerintahkan pemberlakuan karantina wilayah bagi daerah yang diserang wabah penyakit.

Dalam buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam terekam jelas dari kisah pembatalan kunjungan Umar ra. ke Syam.

Diceritakan, ketika masa pemerintahannya, wabah taun telah melanda Negeri Syam pada bulan Muharram dan Shafar yang menelan banyak korban tewas, lalu taun itu hilang. Orang-orang pun mengirim surat kepada Umar ra. mengadukan masalah itu.

Kemudian Umar ra. dan sahabat lainnya pergi menuju Syam. Sesampainya di daerah dekat Syam (daerah Sargh), sampailah kabar kepadanya bahwa taun yang terjadi di Syam bertambah parah jauh lebih parah dari sebelumnya.

Di saat seperti itu, Umar ra. memanggil orang-orang Muhajirin, Anshar, dan pemuka suku Quraisy untuk mendiskusikan tentang tindakan apa yang harus dilakukannya. Setelah panjang diskusi, dicapailah kesepakatan untuk kembali pulang ke Madinah.

Akan tetapi, Abu Ubaidah sebagai gubernur Syam mengatakan, “Apakah engkau lari dari takdir Allah?” Umar ra. menanggapi pemikiran itu dengan berkata, “Kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain…..”

Lalu, Abdurrahman bin Auf ra. mendekati forum diskusi itu seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku memiliki suatu ilmu tentang hal ini. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

“Apabila kalian mendengar (taun) itu terjadi di suatu tempat, janganlah kalian datangi tempat itu; dan apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian sedang berada di situ, janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.’” Umar ra. sontak mengucapkan hamdalah dan pujian kepada Allah, lalu dia pun kembali (membatalkan memasuki Negeri Syam).

Hadis di atas, adalah landasan yang kuat bagi umat Islam dalam memberlakukan karantina wilayah untuk mencegah tersebarnya virus menular yang mematikan di masa pandemi, apapun nama jenis virusnya.

2. PSBB (pembatasan sosial berskala besar)

PSBB (pembatasan sosial berskala besar)

Seperti halnya karantina wilayah, kerumunan orang di masa pandemi pun patut untuk diwaspadai. Karena, hal tersebut merupakan salah satu penyebab menularnya virus. Dan kita tidak pernah tahu orang yang berjumpa dengan kita adalah orang tanpa gejala (OTG). Maka, upaya pembatasan sosial sudah sepatutnya untuk dilakukan.

Ternyata, hukum mengenai hal ini telah dibahas tuntas dalam syariat Islam. Landasan hukumnya adalah pelarangan Rasulullah saw. bagi penderita taun untuk keluar dari daerah tersebut. Sebagaimana yang dicatat dalam buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, dikatakan oleh Ibnu Hajar, “Imam Syafi’i telah menaskan bahwa, jika seseorang berada di suatu tempat yang taun menyebar luas di sana, maka status semua orang yang bermukim di daerah itu adalah seperti orang yang mengalami penyakit mengkhawatirkan, walaupun dia tidak terkena taun.”

Begitu juga dengan Qadhi Husein, seorang hakim dan ahli fikih, menyatakan bahwa, “Orang yang berada di daerah taun, statusnya sama seperti orang yang mengalami penyakit mengkhawatirkan, dengan dalil larangan Rasulullah saw. bagi orang yang berada di daerah taun untuk keluar dari situ.”

Dapat disimpulkan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Selain berlandaskan pada hadis larangan Rasulullah saw. di atas, surat al-Baqarah ayat 195 juga merupakan landasan dasar pemberlakuan PSBB. Allah swt. berfirman,

“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah [2]: 195)

Ayat ini jelas sekali melarang orang yang sengaja mendekatkan diri kepada kehancuran dan penyakit. Begitu pula pada masa pandemi, ayat tersebut melarang keras seseorang yang sengaja menularkan ataupun tertular penyakit.

3. Tetap di Rumah (#StayHome)

Tetap di Rumah (#StayHome)

Tidak hanya PSBB saja yang diimbau oleh pemerintah. Namun, anjuran untuk selalu tetap berada di rumah pun turut diserukan. Walaupun dampaknya besar bagi ekonomi negara dan masyarakat, berdiam diri di rumah adalah satu-satunya cara paling efektif untuk memutuskan mata rantai virus.

Mengenai hal ini, Rasulullah saw. pun telah menganjurkan untuk tetap di rumah (#stayhome) pada masa pandemi. Berikut ini potongan hadis riwayat Imam Ahmad dari Aisyah ra.,

“Tidak ada seorang pun yang terkena taun, lalu dia tetap diam di rumahnya dengan sabar serta mengharap pahala dari Allah, dan dia tahu bahwa tidak ada yang dapat mengenai dirinya kecuali hanya apa yang telah Allah tetapkan baginya, kecuali baginya pahala yang setara dengan pahala orang syahid.”

Dari hadis tersebut, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa orang yang berdiam di rumahnya selama wabah, sembari bersabar, mengharap ridha ilahi, dan mengimani takdir Allah, dia akan memperoleh seperti pahala orang mati syahid meskipun dirinya tidak terkena wabah.

Dia mengutip salah satu hadis Nabi yang berbunyi, “Sesungguhnya kebanyakan para syuhada di kalangan umatku adalah orang-orang yang mati di atas kasur.”

Jadi, jelaslah sudah, bahwa Islam menganjurkan untuk tetap di rumah (#stayhome) pada masa pandemi, dan menyetarakannya dengan mereka yang sedang berjuang di jalan Allah swt.

4. Hukum Berkumpul Shalat & Doa Berjamaah

Hukum Berkumpul Shalat & Doa Berjamaah

Anjuran PSBB dan tetap di rumah bukan hanya berdampak pada tatanan sosial saja, bahkan dampaknya sangat terasa dalam praktik ibadah. Misalnya, silaturahmi, shalat jum’at, dan ibadah lainnya yang berhubungan dengan perkumpulan.

Pasalnya, semua masjid tidak mengadakan shalat Jum’at dikarenakan mengkhawatirkannya penyebaran virus yang semakin hari semakin bertambah korban. Terlebih lagi, pada waktu idul fitri, hampir semua masjid tidak mengadakan shalat idul fitri yang hanya dilaksanakan satu tahun sekali itu.

Apa pandangan Islam dalam hal ini?

Menanggapi realita tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan pandangan berdasarkan dalil yang kuat dan berkata, “Adapun berkenaan dengan tindakan berdoa secara berjamaah untuk memohon dihilangkannya taun, dengan cara seperti yang dilakukan pada Shalat Istisqa` (shalat minta hujan), itu adalah bidah.”

Lebih lanjut, dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, Ibnu Hajar mencatat, “Disebutkan bahwa itu pernah terjadi pada tahun 49 H, lalu semua orang pergi keluar ke sahara termasuk para pembesar negeri. Mereka lalu berdoa dan melakukan istigasah. Dan ternyata setelah itu, taun justru semakin parah, padahal sebelum doa dilakukan taun tidak terlalu parah.”

Bidah berarti suatu ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw., generasi sahabat, dan tabi’in. Artinya, berkerumun di masa pandemi (taun) sangat tidak dibenarkan dalam syariat. Karena, ayat yang telah disebutkan di atas sudah jelas menyatakan bahwa haram hukumnya seseorang sengaja menjatuhkan diri pada kebinasaan atau penyakit.

Dapat disimpulkan dari buku ini, bahwa berkerumun itu tidak dibenarkan walaupun dalam hal ibadah. Namun, ibadah tetap dilaksanakan dengan memenuhi protokol kesehatan yang telah dianjurkan oleh dokter.

5. Pola Hidup Bersih dan Sehat

Pola Hidup Bersih dan Sehat

Selama belum ditemukannya vaksin atau antivirus corona, kemungkinan manusia hidup berdampingan dengan virus ini, seperti halnya penyakit flu dan sejenisnya. Dalam keadaan seperti ini, hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan pola dan gaya hidup sehat, baik makanan, olah raga, jaga jarak, maupun rutin mencuci tangan.

Apakah anjuran itu sesuai dengan syariat Islam? Mari sama-sama kita telusuri di buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam.

Tentu saja, dalam Islam, saran dari seorang dokter (tabib) memiliki porsi khusus yang bisa dijadikan landasan hukum. Misalkan, seseorang dibolehkan tidak berwudhu (namun tayamum) ketika hendak shalat jika dokter menyatakan bahwa orang tersebut alergi terhadap air, sehingga air dapat berbahaya baginya. Dalam hal ini, hukum fikih akan butuh pertimbangan dari saran dokter.

Dalam hubungannya dengan masa wabah taun, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “Di antara dalil-dalil yang menunjukkan perintah syariat untuk berobat adalah menjaga diri di tengah terjadinya wabah dari hal-hal yang disarankan oleh para tabib (dokter), seperti mengeluarkan kotoran tubuh, mengurangi makan, tidak melakukan olahraga, tidak mendatangi pemandian umum, tetap diam dan tenang, serta tidak banyak menghirup udara yang buruk.”

Pernyataan Ibnu Hajar tersebut merupakan anjuran dokter pada masa itu. Tentunya jenis virusnya berbeda sehingga anjuran dokter pada masa itu pun berbeda dengan masa covid-19 sekarang. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan ialah patuh terhadap saran dan anjuran dokter karena dokter lebih tahu mengenai jenis virus, penanganan, dan pencegahannya.

Dan, firman Allah swt., “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah [2]: 195), ayat ini merupakan landasan utama dalam hal ini, yaitu menjauh dari penyakit. Namun, untuk menghindari virus menular itu butuh akan saran para dokter.

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu 3M! (Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu sehat sentosa dalam lindungan-Nya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

Protokol Kesehatan di Kala Pandemi ala Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam Read More »

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Di era pandemi, berbagai pendapat tentang munculnya wabah merupakan hal yang wajar. Berbagai pendapat itu bahkan mampu memantik perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya berada dalam ranah medis, tetapi juga dalam ruang lingkup teologis. Pertentangan tersebut sudah ada semenjak Abad Pertengahan.

Pada abad ke-14 M, ketika wabah maut hitam melanda negara-negara Islam, para ilmuwan muslim mencoba mengemukakan pendapat mereka mengenai asal-usul wabah. Salah satu di antara ulama yang mengkaji ihwal pandemi adalah Ibnu Hajar al-Asqalani.

Dalam kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadli ath-Tha’un, Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan berbagai isu terkait pandemi. Mulai dari asal-usulnya, pendapat ulama-ulama sebelumnya terkait penyembuhan penyakit menular, hingga protokol-protokol di masa pandemi.

Terkait kajian teologis tentang wabah dan taun, Ibnu Hajar al-Asqalani memiliki 3 pendapat yang ia simpulkan berdasarkan hadis Nabi. Apa saja itu? Simak pemaparannya di bawah ini.

[irp posts=”13429″ name=”3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M”]

1. Wabah dan Taun sebagai Azab Umat Terdahulu

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Pada bab ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menukil salah satu perkataan Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah.

Rasulullah saw. bersabda:

‘Sesungguhnya taun adalah azab dan sisa azab yang ditimpakan kepada suatu kaum.’” (al-Hadis) Lafal Abu Bakar bin Abu Syaibah.

Masih di pembahasan yang sama, Ibnu Hajar al-Asqalani juga menuliskan hadis nabi mengenai pandemi yang sifatnya sesekali datang dan sesekali pergi.

“Sesungguhnya nyeri sakit ini –atau penyakit ini merupakan azab yang ditimpakan kepada sebagian umat sebelum kalian. Kemudian azab itu menetap di bumi, lalu sesekali pergi dan sesekali datang.”

Hadis itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari jalur Ibnu Wahb.

2. Wabah dan Taun Adalah Azab bagi Orang Kafir

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Terkait hal ini, Ibnu Hajar al-Asqalani mengabarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Asib, seorang budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw.

Rasulullah saw. bersabda:

‘Jibril as. mendatangiku dengan membawa demam dan taun. Aku pun menahan demam di Madinah dan kulepas taun ke Syam. Taun adalah kesyahidan bagi umatku dan rahmat bagi mereka, tetapi taun adalah kotoran bagi orang kafir.’” (HR. Ahmad)

 

Hadis di atas bersifat hasan. Nama asli Abu Asib adalah Ahmar, tetapi dia lebih masyhur dengan nama kunyahnya. Hadisnya itu telah sampai kepada Ibnu Hajar al-Asqalani dengan sanad tinggi dalam kitab Mu’jam ath-Thabrâni dan kitab al-Ma’rifah karya Ibnu Mandah.

3. Wabah dan Taun sebagai Gerbang Kesyahidan

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa para korban wabah dan taun dari kalangan umat Islam berstatus syahid. Dalam pengertian bahwa orang tersebut mendapatkan pahala sebagai syahid. Yang sebagian besarnya merupakan kematian dalam keadaan yang berat.

Ia menukil sebuah hadis yang menyatakan bahwa kesyahidan tidak khusus didapatkan melalui mati dalam pertempuran.

Imam Malik—semoga Allah swt. merahmati beliau—meriwayatkan dalam Al-Muwaththa` dari Sumay, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Para syuhada ada lima: orang yang mati terkena taun, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangungan, dan orang yang mati di jalan Allah.”

Allah menjadikan itu sebagai anugerah bagi umat Muhammad saw., dengan menjadikan itu sebagai penghapus bagi dosa-dosa mereka sekaligus penambah bagi pahala mereka. Allah Mahatahu.

 

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu 3M! (Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu seha sentosa dalam lindunganNYA.

 

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan Read More »

3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M

Dalam Kitāb al-sulūk lī-ma ‘rifa duwal al-mulūk, al-Maqrizi menulis bahwa ketika Wabah Maut Hitam (Black Death) menghantam Mesir, ada banyak kematian yang terjadi di sana. Ia mengemukakan bahwa The Black Death adalah pandemi yang paling buruk yang pernah terjadi di dunia Islam.

Al-Maqrizi melaporkan bahwa Wabah Maut Hitam menewaskan seratus orang per hari di Alexandria. Jumlah itu kemudian meningkat drastis menjadi dua ratus korban per harinya. Wabah kemudian menyebar ke seluruh Delta Nil, seperti yang ditulis al-Marziqi, “Tidak ada yang tersisa untuk mengumpulkan hasil panen.”

Ketika wabah melanda Kairo, sultan dan anggota-anggota terkemuka rezim yang berkuasa melarikan diri dari kota. Begitu wabah mencapai puncaknya di sekitar Desember 1348, dilaporkan bahwa sekitar 7.000 orang meninggal per hari.

Pandemi yang melanda Mesir, khususnya Kairo, tidak hanya mengubah pola masyarakat dari segi perekonomian, tetapi juga dari segi peribadatan.

Apa saja ritual-ritual keagamaan muslim Kairo ketika Pandemi melanda? Simak penjelasannya di bawah ini.

 

[irp posts=”13410″ name=”5 Wabah dan Taun Terkelam dalam Sejarah Manusia”]

 

1. Doa Berjamaah

Doa Berjamaah

Menurut catatan Michael Dols dalam The Black Death in the Middle East, ketika Wabah Maut Hitam sedang parah-parahnya, perintah diberlakukan di Kairo untuk berkumpul di masjid dan untuk mengucapkan doa yang direkomendasikan secara bersamaan.

Pada hari Jumat, 6 Ramadhan 749 H/28 November 1348 M, masyarakat diundang untuk berkumpul di masjid di dekat Qubbat an-Nashr untuk membaca al-Quran bersama-sama. Prosesi yang sama dilakukan di masjid-masjid yang berbeda di wilayah Kairo dan Fustat.

2. Proses Pemakaman Masal

3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M

Pada tahun 1430 M, ketika korban Pandemi sudah terlalu banyak, pemerintah memutuskan untuk menguburkan jenazah para korban wabah secara masal.

Sebelum dikuburkan, para jenazah korban disalatkan terlebih dahulu di musala Bab al-Nash di ujung utara gerbang Fatimid Kairo.

Setelah disalatkan para jenazah tersebut dikuburkan dalam satu makam yang besar yang bisa memuat hingga empat puluh jenazah.

 

3. Penutupan Masjid

Penutupan Masjid

Masih di tahun yang sama, Al-Maqrizi melaporkan bahwa selama pandemi berlangsung bahwa di kota Bilbays di tepi timur Delta Nil, “Masjid, toko, dan pondok-pondok dibiarkan kosong.”

Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari lebih waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan.

 

Salam Literasi Indonesia.

 

[irp]

3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M Read More »

5 Wabah dan Taun Terkelam dalam Sejarah Manusia

Usia Peradaban manusia sudah cukup lama. Ada banyak hal yang telah terjadi dan mewujud sebagai memori kolektif bersama. Ada kemenangan, ada pula kekalahan.

Di antara sekian banyak hal itu, kenangan buruk tentang wabah dan pandemi kembali menelusup ke dalam benak banyak orang. Semua bermula ketika virus Covid-19 menyebar dan tak kunjung reda.

Di tengah-tengah masa pagebluk seperti sekarang ini, rasanya tak ada yang lebih dekat ketimbang kematian. Babak penjang perjalanan manusia di muka bumi mencatat setidaknya ada 5 jenis pandemi yang telah menelan banyak korban.

Apa saja itu? Simak pemaparannya di bawah ini.

 

[irp]

 

1. Justinian Plague (541-549 M)

Wabah pandemi dan taun dalam sejarah manusia

Justinian Plague dikenal sebagai awal dari pandemi wabah pertama yang disebabkan bakteri Yersinia Pestis. Wabah ini menyebabkan seperlima populasi di Ibukota kekaisaran Byzantium tewas.

Wabah ini dinamai sesuai dengan nama kaisar Romawi di Konstantinopel, Justinianus 1 (527-565 M). Penyebaran wabah ini meliputi seluruh Cekungan Mediterania, Eropa, dan Timur Dekat.

Pada tahun 544 M wabah ini sudah menyebar di Laut Mediterania dan bertahan di Eropa Utara dan Semenanjung Arab hingga tahun 549 M.

2. Taun Amwas (638-639 M)

Taun Amwas (638-639 M)
Taun Amwas adalah sebuah wabah yang menimpa negeri Syam pada tahun 638-639 M. Penyebabnya diyakini sebagai penyakit Pes Bubo yang muncul kembali setelah Justinian Plague pada abad ke-6 M.

Taun Amwas adalah sebuah wabah yang menimpa negeri Syam pada tahun 638-639 M. Penyebabnya diyakini sebagai penyakit Pes Bubo yang muncul kembali setelah Justinian Plague pada abad ke-6 M.

Sekitar 25.000 prajurit muslim beserta keluarganya meninggal dalam pandemi ini, termasuk Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi SUfyan, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.

 

3. The Black Death (1347-1351 M)

The Black Death (1347-1351 M)
The Black Death atau Maut Hitam adalah sebuah pandemi yang melanda Eropa pada abad ke-14 M. Wabah ini membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa.

The Black Death atau Maut Hitam adalah sebuah pandemi yang melanda Eropa pada abad ke-14 M. Wabah ini membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa.

Penyakit diduga berlanjut hingga tahun 1700-an, tetapi dengan intensitas dan tingkat fatalitas yang berbeda.

Salah satu dampak nyata The Black Death adalah penurunan drastis populasi eropa dan perubahan struktur sosial Eropa.

 

4. Flu Spanyol (1918-1920 M)

Flu Spanyol (1918-1920 M)
Flu Spanyol adalah pandemi influenza yang disebabkan oleh virus influenza A H1N1. Pandemi ini berlangsung dari 1918-1920. Ia pertama kali muncul di Afrika Barat dan Prancis lalu menyebar ke seluruh dunia.

Flu Spanyol adalah pandemi influenza yang disebabkan oleh virus influenza A H1N1. Pandemi ini berlangsung dari 1918-1920. Ia pertama kali muncul di Afrika Barat dan Prancis lalu menyebar ke seluruh dunia.

Selama pandemi ini berlangsung, korbannya mencapai 50 juta hingga 100 juta. Maka tak ayal, pandemi ini dianggap sebagai pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia.

Di Indonesia sendiri, korban flu ini diperkirakan mencapai 1-1,5 juta pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

 

5. Pandemi Covid-19 (2019 M-)

Pandemi Covid-19 (2019 M-)
Pandemi Covid-19 disebabkan oleh virus corona jenis baru yang dinamakan SARS-CoV-2. Virus ini pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019. Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai Pandemi.

Pandemi Covid-19 disebabkan oleh virus corona jenis baru yang dinamakan SARS-CoV-2. Virus ini pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019. Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai Pandemi.

Hingga kini pandemi ini telah menewaskan lebih dari 195.755 orang dan telah menyebar ke lebih dari 210 negara dan wilayah.

Virus Covid ini masih berlangsung dan belum diketahui kapan ia akan berakhir.

Pagebluk memang membuat kita khawatir. Namun, percayalah semua ini pasti akan berakhir. Mari kita mendisiplinkan diri untuk selalu Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan.

 

Salam Literasi Indonesia.

 

[irp]

5 Wabah dan Taun Terkelam dalam Sejarah Manusia Read More »