Fikih Pandemi

Sifat dan Sebab Terjadinya Taun dan Hubungannya dengan Wabah dalam Kitab Fikih Pandemi Zakaria al-Anshari

Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam mengutip salah satu perkataan Imam an-Nawawi tentang bentuk penyakit taun.

Dalam kitabnya Tahdzîb al-Asmâ` wa al-Lughât Imam an-Nawawi mengatakan bahwa taun adalah penyakit yang sudah diketahui masyarakat umum, berupa bengkak yang terasa sangat sakit.

Penyakit itu muncul disertai bisul atau borok dengan kulit menghitam di sekelilingnya, atau berubah menghijau atau memerah, diiringi jantung yang berdebar-debar serta muntah-muntah.

Luka-luka yang muncul akibat penyakit ini biasanya muncul di daerah marâq (bagian bawah perut) dan ketiak; pada bagian tangan dan jemari; serta seluruh badan.

Dalam kitab ar-Raudhah, Imam an-Nawawi menyatakan, “Sebagian ulama menafsirkan taun sebagai penyakit yang menghambat peredaran darah menuju berbagai anggota tubuh. Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa taun ialah penyakit bengkak dan pendarahan.”

Masih dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, Abu Ali bin Sina dan beberapa tabib terkemuka lainnya mengemukakan bahwa taun adalah zat beracun yang dapat menyebabkan bengkak atau tonjolan mematikan.

Taun terjadi di bagian tubuh yang lembek dan di daerah maghâbin (ketiak, saluran kemih, paha, dsb.) dari tubuh manusia. Yang paling sering terserang adalah daerah ketiak, belakang telinga, atau batang hidung.

Ibnu Sina menyatakan, “Semua itu terjadi disebabkan darah kotor kemudian berubah menjadi zat beracun yang akan merusak anggota tubuh tertentu dan bagian lain di dekatnya. Kelak akan mencapai jantung dan mengganggu kinerjanya, sehingga menyebabkan terjadinya muntah, pingsan, dan jantung berdebar. Kondisi inilah yang kemudian disebut dengan istilah wabah (waba`), dan sebaliknya.

Ibnu Sina juga mengatakan, “Wabah adalah rusaknya materi udara yang merupakan bahan pembentuk roh dan penopangnya.” Itulah sebabnya, kehidupan makhluk hidup mana pun tidak dapat terjadi tanpa adanya proses penghirupan udara.

Pendapat yang serupa dengan pendapat Ibnu Sina di atas ialah pendapat Alauddin bin Nafis yang menyatakan bahwa wabah muncul dari kerusakan yang dialami materi-materi pembentuk udara, baik yang datang dari langit maupun dari bumi, seperti komet dan meteor yang jatuh pada akhir musim panas, atau air yang warna dan baunya sudah berubah, serta air yang banyak bangkainya.

Sementara itu, menurut Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, kata taun lebih khusus artinya daripada kata wabah.

Perbedaannya tampak jelas dari pernyataan Ibnu Sina berdasarkan hadis dalam ash-Shahîhain (kitab Shahîh al-Bukhâri dan kitab Shahîh Muslim), yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa di gerbang-gerbang kota Madinah ada para malaikat sehingga ia tidak dapat dimasuki taun dan tidak pula dajal.

Dalam kedua kitab itu juga disebutkan sebuah hadis dari Aisyah ra. beriwayat,

“Kami mendatangi Madinah ketika ia merupakan bagian bumi Allah yang paling berwabah.” (al-Hadis)

Di dalamnya, terdapat perkataan Bilal ra., “Wahai Allah, kutuklah Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebab mereka mengusir kami dari tanah kami (Makkah) ke tanah wabah (Madinah).”

Jika memang kata thâ’ûn (taun) di atas berarti wabah, berarti kedua hadis tersebut saling bertentangan. Akan tetapi, kedua hadis itu tidak kontradiktif karena pengertian taun lebih sempit daripada wabah.

Karena kata wabâ` yang dapat ditulis panjang (dengan alif:وَبَاء ) dan dapat juga pendek (tanpa alif: وَبَأ) yang berarti “penyakit yang menyerang banyak orang” (مَرَضٌ عَام).

Sedangkan taun merupakan “serangan jin” yang para tabib tidak mampu mengobatinya, sampai-sampai para tabib paling pintar pun menyatakan bahwa tidak ada obat bagi taun.

Pernyataan di atas tidak bertentangan dengan pernyataan para tabib perihal taun muncul dari zat beracun atau menguatnya aliran darah ke anggota tubuh tertentu, atau terjadi disebabkan rusaknya udara, atau berbagai sebab lainnya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, hal ini bisa terjadi karena tidak menutup kemungkinan bahwa semua itu terjadi akibat adanya serangan tak kasat mata (dari makhluk jin) yang akan menyebabkan munculnya zat beracun atau naiknya tekanan darah.

Apabila memang taun terjadi disebabkan rusaknya udara, maka pernyataan itu menjadi gugur. Sebab, ternyata taun juga terjadi pada musim-musim paling stabil dan di negeri-negeri yang kondisi udaranya paling baik.

Selain itu, masih dalam Kitab Fikih Pandemi dalam Islam, apabila memang penyebab taun adalah udara, maka semestinya taun akan mengenai semua makhluk hidup dan seluruh bagian tubuh, tetapi ternyata tidak demikian yang terjadi, seperti yang dapat dilihat. Dan Allah Mahatahu.

Salam Literasi Indonesia.

Sifat dan Sebab Terjadinya Taun dan Hubungannya dengan Wabah dalam Kitab Fikih Pandemi Zakaria al-Anshari Read More »

Zakaria al-Anshari, Syaikhul Islam Abad ke-15 M, Pengarang Kitab Lubbul Ushul dan Tuhfah ar-Raghibin (Fikih Pandemi dalam Islam)

1. Garis Keturunan

garis keturunan

Nama lengkapnya adalah Zainuddin Abu Yahya Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari, seorang hakim (qadhi) sekaligus ulama mazhab Syafi’i dalam bidang tafsir, fikih, dan hadis. Beliau merupakan salah satu ulama yang memiliki andil di dalam kodifikasi ilmu Islam sehingga ia dijuluki dengan Syaikhul Islam.

2. Kelahiran

kelahiran

Zakaria al-Anshari dilahirkan di Mesir, tepatnya di Desa Sunaikah, Mesir Timur pada tahun 823 H/1420 M. Masa kecil beliau penuh dengan keprihatinan, karena ayahnya meninggal dunia ketika ia masih balita sehingga Zakaria kecil hidup hanya bersama ibunya.

Diceritakan dari Syekh Shalih ar-Rabi’ bin Abdullah as-Sulami bahwa suatu ketika Syekh Shalih ar-Rabi’ berkunjung ke Desa Sunaikah, kampung halaman Zakaria. Di Desa tersebut, beliau mendapati seorang wanita yang meminta pekerjaan kepadanya untuk kebutuhan keluarganya. Wanita itu tidak lain adalah ibunda Zakaria.

Kemudian ibu Zakaria menitipkan anaknya kepada Syekh Shalih ar-Rabi’ untuk memenuhi kebutuhan belajarnya. Diceritakan bahwa Ibu Zakaria meminta Syekh Shalih untuk membawa Zakaria ke Kairo, supaya dapat menimba ilmu.

Syekh Shalih berkata, “Jika ibu setuju, akan kubawa Zakaria ke al-Azhar untuk membantu pekerjaan sekaligus belajar di sana. Saya akan menanggung kehidupannya.”

Sang ibu pun menyetujuinya demi kebaikan masa depan putranya.

3. Pengembaraan Keilmuan

pengembaraan keilmuan

Semasa di Sunaikah, Zakaria kecil sudah mahir membaca dan menghafal al-Quran, serta mempelajari kitab ‘Umdatul Ahkam dan Mukhtashar at-Tabrizi.

Pada tahun 841 H/1437 M, beliau pergi ke kota Kairo dan belajar di al-Azhar Kairo. Bakat menghafalnya kemudian berlanjut ketika ia menimba ilmu di sini. Dalam rentang waktu yang relatif pendek, Zakaria muda telah menghafal al-Quran dan beberapa kitab, seperti Alfiyah ibnu Malik, al-Minhaj, asy-Syathibiyah, dan lainnya.

Di tengah pengembaraan ilmu yang pertama ini, Zakaria muda sempat pulang ke kampung halamannya untuk bekerja. Namun, beberapa waktu kemudian, ia kembali ke Kairo melanjutkan penggalian ilmu.

Pada masa pengembaraan yang kedua ini, Zakaria al-Anshari mempelajari hampir semua kitab dalam berbagai macam cabang keilmuan, termasuk matematika, seni menulis indah, dan ilmu retorika. Tidak heran jika kemudian guru-gurunya memberikan pujian dan ijazah keilmuan padanya.

Lebih dari 150 ijazah telah diberikan kepadanya, termasuk ijazah dari Ibnu Hajar al-Asqalani, yang menuliskan kata-kata dalam ijazahnya, “Aku izinkan bagi Zakaria untuk membaca al-Qur’an dengan jalur periwayatan yang ia tempuh, dan mengajarkan fikih yang telah dituliskan dan diserahkan al-Imam asy-Syafi’i. Kepada Allah, kami, aku, dan Za¬karia, memohon pertolongan untuk ke¬lak dapat bersua dengan-Nya.”

Pada tahun 850 H/1446 M, beliau meninggalkan Mesir menuju Hijaz untuk menunaikan Ibadah Haji. Di sana, beliau bertemu dengan beberapa Ulama dan belajar kepada mereka, khususnya ilmu hadis, di mana beliau mendapatkan ijazah dengan sanad yang ‘aly dan langka.

Di antara ulama yang memberikan ijazah kepada beliau adalah as-Syarof Abu al-Fath al-Maroghi. Beliau juga bertemu dengan Ibnu Fahd dan dua hakim (Qadhi), Abu al-Yaman an-Nuwairy dan Abu as-Sa’adat Ibnu Zahirah.‎

4. Guru-guru

guru-guru

Imam Zakaria al-Anshari memiliki lebih dari 150 guru yang sangat mempengaruhi dalam keilmuannya. Semua gurunya sangat menguasai dan menonjol di beberapa bidang keilmuan masing-masing. Di antaranya adalah:

• Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengajarkan ilmu hadis, fikih, dan ushul;
• Muhammad bin ar-Rabi dan al-Burhan al-Faqusi al-Bulaisi yang membimbing bacaan al-Qur’an hingga menghafalnya;
• Imam Zainuddin Abu an-Na’im Ridhwan bin Muhammad al-Uqbi asy-Syafi’i yang mengajarkan Qira’at Sab’ah, kitab musnad Imam Syafi’i, Shahih Muslim, Sunan Nasa’i dan lainnya;
• Abu al-Abbas Ahmad bin Ali al-Intikawi, Abu al-fatah Muhammad bin Ahmad al-Ghazi, Abu Hafsah Umar bin Ali, Ahmad Bin Ali ad-Dimyathi, Abu al-Farah Abdurrahman Bin Ali at-Tamimi, dan Syekh Muhammad Bin Umar al-Wasithi al-Ghamri. Mereka semua adalah guru beliau di bidang tasawuf.

5. Murid-murid

murid

Murid-murid Zakaria al-Anshari sangat banyak. Mereka menyebar di berbagai daerah seperti Hijaz, Syam dan kota lainnya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah:

• Ibnu Hajar al-Haitami, pengarang kitab Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj
• Abdul Wahab asy-Sya’rani, dikenal dengan nama Imam asy-Sya’rani
• Syamsuddin ar-Ramli, pengarang kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhi al-Minhaj
• Al-Khatib asy-Syarbini, pengarang kitab Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj
• Nuruddin al-Mahalli
• Badruddin al-Ghazi
• Muhammad bin Ahmad al-Hashkafi
• Badaruddin Hasan bin Muhammad ash-Shafadi.

6. Karya-karya

karya-karya

Tercatat lebih dari 50 karya tulis yang telah beliau tinggalkan. Di antaranya ialah:

• (لُبُّ الْأُصُوْل)
• (إعْرَابُ اْلقُرَآنِ الْعَظِيْم)
• (أَدَبُ القَاضِي عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الشَّافِعِي)
• (الدُّرَرُ السّنية على شرح الألفية [حاشية على شرح ألفية ابن مالك])
• المطلع شرْح إيْسَاغُوْجِي))
• (أسْبَابُ الْمَوْجُوْدَات)
• (تَلْخِيْص أَسْئِلَة اْلقُرْآنِ وَأَجْوِبَتِها لِأَبِي بَكْر الرَّازِي صاحب مختار الصحاح)
• فَتْحُ اْلوَهَّاب بِشَرْحِ مِنْهَجِ الطُّلَّاب))
• (فَتْحُ رَبِّ اْلبَرِيَّة بِشَرْحِ الْقَصِيْدَة الخزرجية)
• (فَتْحُ الرَّحْمَان)

•تُهْفَةُ الرَّاغِبِيْن فِي بَيَانِ عَمْرِ الطَّوَاعِيْنَ (Fikih Pandemi dalam Islam)

7. Wafat

wafat

Zakaria al-Anshari wafat pada tanggal 4 Zulhijah 926 H/27 November 1520 M dalam usia 100 tahun lebih, dan dikebumikan di kota Qarafah, Kairo dekat makam Imam asy-Syafi’i. Selama itu, hidupnya diisi penuh dengan ilmu, pendidikan, dakwah, dan mengajar, hingga ia diuji dengan kebutaan mata sebelum akhirnya meninggal dunia.

 

Salam Literasi Indonesia

Zakaria al-Anshari, Syaikhul Islam Abad ke-15 M, Pengarang Kitab Lubbul Ushul dan Tuhfah ar-Raghibin (Fikih Pandemi dalam Islam) Read More »