Mengubah Mindset Secara Positif dengan Konsep Dasar Filsafat

Apa yang kira-kira muncul dalam benakmu saat mendengar selintingan tentang kekhawatiran finansial generasi masa kini, gaya hidup yang berlebihan, kurang bertanggung jawab, rentan terlilit hutang, dan sekelumit problem kehidupan lainnya?

Setuju atau tidak, tapi kamu pasti tahu problem tersebut sering kali menambah tingkat kecemasan yang berlebihan. Belum lagi jika kita membahas kebiasaan-kebiasaan destruktif lainnya yang ada di lingkungan kita, bukan hanya dapat merugikan diri sendiri tapi juga orang di sekitar kita.

Tidak heran jika saat ini banyak yang mulai berupaya menerapkan minimalism life. Singkatnya, hidup secara sederhana. Tapi kadang-kadang konsep ini malah dianggap menyiksa diri secara berlebihan. Padahal, semestinya dapat membantu kita untuk memahami tingkat prioritas diri. Apakah misalnya di bulan ini saya perlu membeli barang tertentu bersamaan dengan barang lainnya? Ataukah, di antara keduanya saya hanya perlu menentukan satu saja (atau malah tidak membeli sama sekali), mengingat kebutuhan dan kondisi finansial saya saat ini?

Pemahaman ini sebenarnya tidak datang dari angin lalu saja. Dasar-dasar untuk menerapkan hidup yang baik, atau dengan kata lain, hidup yang bijaksana tentu dimulai dari berpikir secara positif. Bukan berarti menganggap semua hal baik-baik saja, melainkan kesadaran untuk mengelola berbagai pengetahuan dan informasi yang diterima dengan bijak. Ketika mengetahui suatu kondisi atau informasi tertentu, baik yang membahagiakan atau malah mengerikan, kita bisa dengan bijak mengelolanya, baik secara emosi maupun pikiran.

Karena itu, seminimal apa pun, orang tetap perlu belajar dasar filsafat. Kenapa? Karena menerapkan pemikiran filosofis bukan sekadar memikirkan segalanya sampai ke langit yang ke tujuh. Berpikir filosofis adalah tentang kesadaran mengolah diri dan emosi. Adil sejak dalam pikiran. Mengubah mindset ke arah yang lebih bijaksana. Karena dengan filsafat kita dapat mengukur segala hal dalam hidup. Itulah inti berfilsafat. Bukan hanya tentang semesta, melainkan tentang kesadaran kita sendiri.

Jika kamu mau mulai mengubah mindset ke arah yang lebih bijaksana, pembasahan utuh dasar-dasar filsafat tentang logika, metafisika, dan fisika bisa kamu temukan dalam buku Pengantar Filsafat karya Imam al-Ghazali terbitan Turos Pustaka. Yap, benar! Imam al-Ghazali Sang Hujjatul Islam, sang pembaharu Islam dari abad ke-5. Ada juga beberapa paket bundling yang bisa kamu pilih. Jangan sampai kamu menunda menyadari kebijaksanaan dirimu karena ketinggalan mendapatkan buku ini. Segera ambil bagianmu. Periode pre-order dari tanggal 31 Mei—10 Juni.

Kitab Maqashid al-Falasifah

Pengantar Filsafat: Memahami Gagasan Pokok Para Filsuf dari Aristoteles hingga Ibnu Sina

Dengan mengacu kepada opini, pemikiran, serta gagasan para filsuf, buku ini ditulis oleh Imam al-Ghazali sebagai pengantar untuk memahami teori dasar dalam ilmu filsafat. Di dalam buku ini, Imam al-Ghazali menguraikan wacana filsafat yang terangkum ke dalam tiga disiplin utama: logika, fisika, dan metafisika. Dalam wacana filsafat, Imam al-Ghazali sendiri merupakan seorang tokoh yang menentang dan membantah pemikiran filsafat, khususnya yang berkaitan secara langsung dengan akidah Islam.

Dengan rinci dan sangat ketat, Imam al-Ghazali mengemukakan pandangannya tentang kerancuan pemikiran filsafat yang tertuang dalam kitabnya yang fenomenal, Tahâfut al-Falâsifah. Buku ini adalah pengantar yang ditujukan untuk memberikan pijakan wacana terkait bantahan Imam al-Ghazali yang tertuang dalam Tahâfut al-Falâsifah.

Menurutnya, seseorang harus benar-benar memahami pemikiran para filsuf sebelum membantah argumen mereka. Maka di dalam buku ini, Imam al-Ghazali semata-mata menguraikan teori-teori dasar dalam filsafat, tanpa menyatakan bantahan ataupun persetujuan.

RESEP BAHAGIA IMAM AL-GHAZALI – Siapa yang tidak ingin bahagia? Pasti tidak ada. Semua orang ingin merasakan kebahagiaan. Namun mengapa banyak orang yang mencari kebahagiaan, tapi tidak kunjung memperolehnya? Bagi sebagian orang yang sudah bergelimang harta, jabatan, dan kesenangan dunia, tidak juga serta merta merasa bahagia. Bahkan bagi yang meyakini kebahagiaan akan dicapai dengan menikah dengan orang yang dicintai, bisa juga berakhir dalam kubangan kepedihan.

Imam al-Ghazali (1058-1111 H), seorang ulama tasawuf legendaris menjabarkan pada kita semua dalam kumpulan risalah (kitab tipis) ini, mengenai makna kebahagiaan sejati. Karena bagaimana pun juga, bahagia seperti apa yang hendak diperoleh, sangat menentukan cara kita untuk menggapainya. Kerangka utama mengenai kebahagiaan sejati bagi seorang hamba, secara khusus dibahas dalam Kimiyâ’ as-Sa’âdah (Proses Kebahagiaan). Imam al-Ghazali dalam risalah ini menegaskan bahwa kebahagiaan manusia tidak cukup hanya yang bersifat jasmani saja. Jauh lebih mulia dari itu, menurut beliau, kebahagiaan hakiki manusia justru bisa dicari lewat jalan mengenal dirinya sendiri, lalu mengenal Tuhannya (makrifatullah).

Berbekal resep bahagia yang diterangkan dalam Kimiyâ’ as-Sa’âdah, yaitu dengan mengenali diri dan kemudian mengenal Allah swt., kita bisa menelusuri resep kebahagiaan dari berbagai sudut pandang dalam 7 risalah lainnya. Yaitu, Ar-Risâlah al-Wa’dziyyah (Untaian Nasihat Keimanan), Ayyuhâ al-Walâd (Wahai Anakku, Amalkan Apa yang Kau Ketahui), Mi‘râj as-Sâlikîn (Tangga-tangga Para Salik), Misykât al-Anwâr (Cahaya di Atas Cahaya), Minhâj al-‘Ârifîn (Jalan Para Pencari Tuhan), Al-Adab fi ad-Dîn (Etika dalam Beragama), dan Risâlah at-Thair (Risalah Burung).

“Buku yang sedang Anda pegang ini disebut Ihyâ` ‘Ulûmiddîn, artinya, menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kompas kajian Islam dari awal sampai akhir dalam buku ini menggunakan perspektif yang moderat, sama sekali tidak ekstrem.”
—Dr. Fahruddin Faiz, Pengajar Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Dewasa ini, tidak kurang gerakan atau kampanye tentang kembali ke al-Quran dan Hadis. Media kita dibanjiri ajakan untuk beribadah dan imbauan meninggalkan maksiat. Namun, kenyataannya, berita tentang kejahatan dan nir-adab tidak ada habis-habisnya. Islam dikenal dan dipeluk, tetapi nilainya seakan ditinggalkan.

Maka, inilah buku yang akan mengembalikan nilai-nilai Islam. Buku ini ringkasan Imam al-Ghazali dari magnum opusnya, Ihyâ` ‘Ulûmiddîn (Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Agama). Di dalamnya, ia membahas prinsip serta praktik Islam dan menunjukkan bagaimana hal ini dapat dijadikan dasar kehidupan religius yang reflektif.

Inilah pengantar klasik yang bisa menjadi pedoman seorang muslim untuk berjalan menuju Tuhan agar bisa mendapatkan predikat “manusia ruhani”. Selamat membaca!