Redaksi

Catat Baik-baik! Ini 5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Oleh karena itu, ia harus dipikirkan matang-matang. Namun, tak jarang karena terlalu banyak berpikir, seseorang tak kunjung mengajak kekasih hatinya ke pelaminan.

Umumnya keraguan yang muncul untuk tidak segera menikah ini disebabkan oleh perasaan khawatir yang berlebih. Entah itu karena masalah perekonomian, pihak keluarga calon pasangan, usia yang dirasa belum matang, maupun hal lainnya.

Padahal dengan menikah, kita akan mendapatkan banyak keuntungan. Menurut Imam al-Ghazali, menikah bisa mendatangkan lima keuntungan. Apa saja?

[irp]

1. Mendapatkan Anak

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Ini adalah manfaat sekaligus tujuan utama dari pernikahan, yaitu melanggengkan keturunan sehingga alam semesta tidak pernah kosong dari makhluk yang bernama manusia.

Untuk itu, Allah menciptakan syahwat pada diri manusia, yang disimbolkan dengan keluarnya benih dari laki-laki, sedangkan perempuan bertugas mengelola benih yang telah ditabur di ladang itu.

Inilah bentuk kasih sayang Allah yang ditunjukkan kepada keduanya dalam mengatur tatanan kehidupan, dengan memperanak-pinakkan mereka melalui hubungan intim, sebagaimana kasih sayang-Nya terhadap burung ketika terbang mencari biji-bijian untuk dibawa ke sarangnya.

Kekuasaan Allah yang tanpa batas dalam menciptakan manusia itu pada dasarnya tidak terbatas oleh proses perkawinan saja, bahkan tanpa proses tersebut Allah swt. mampu menciptakan makhluk apapun. Akan tetapi, dengan hikmah kebijaksanaan Allah telah menjadikan segala sesuatu harus berdasarkan pada prinsip sebab akibat.

2. Membentengi diri dari godaan setan.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Menghilangkan kecemasan, membentengi diri dari bahaya-bahaya syahwat dan menjaga kehormatan merupakan keuntungan lain yang bisa didapat karena menikah—sebagaimana sabda Nabi saw sebelumnya, “Barang siapa yang menikah maka sesungguhnya ia telah membentengi setengah agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengah bagian lainnya.”

Dalam sabda beliau yang lain, “Hendaklah kalian mencari kebutuhan hidup, bagi siapa yang tidak bisa maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa baginya dapat meredakan gejolak syahwat.”

Banyak atsar dari shahabat yang sudah disampaikan sebelumnya mengisyaratkan pemahaman ini. Posisi syahwat sebagai bagian dari proses mendapat anak sudah jelas. Dengan demikian, pernikahan mencukupkan seseorang pada kesibukan amalnya, mendorongnya memiliki anak, dan menghindarkan dirinya dari kejahatan jiwanya.

Namun, tidak bisa disamakan antara orang yang memenuhi perintah Tuhannya dalam rangka mendapatkan ridha-Nya, dengan orang yang memenuhi perintah Tuhannya agar terhindar dari malapetaka.

3. Sebagai hiburan dan kedamaian bagi jiwa.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Bercengkerama (dengan istri), memandang dan bermesraan, sangat perlu dilakukan untuk menyejukkan hati dan menguatkan diri dalam beribadah karena jiwa akan merasakan kejenuhan. Nafsu selalu memberontak terhadap kebenaran.

Seandainya nafsu dibebani untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai karena bertentangan dengannya, maka jiwa seseorang akan statis dan tidak bergerak. Jika jiwa diberi kelezatan-kelezatan pada waktu-waktu tertentu, manusia akan menjadi kuat dan semangat.

Beramah-tamah dengan wanita merupakan hiburan yang dapat menghilangkan kesengsaraan dan menyejukkan hati, maka sudah sepatutnya jiwa orang-orang yang bertakwa mendapat berbagai macam hiburan yang dibolehkan.

Oleh karena itu Allah swt. berfirman,
“Agar dia merasa senang kepadanya.” (QS. al-A’râf [7]: 189)

[irp]

4. Memfokuskan hati untuk mengurus rumah tangga.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Menyibukkan diri dengan memasak, menyapu, menata perabot, membersihkan perkakas dan lain-lain untuk mengurus kehidupan sehari-hari.

Jika seseorang tidak memiliki syahwat bersetubuh, ia akan kesulitan mengurus rumahnya sendirian. Jika ia disibukkan oleh semua urusan rumahnya, waktunya akan habis, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mencari ilmu dan beramal.

Wanita salehah adalah wanita yang bisa mengurus semua urusan rumah tangga ini—dengan cara ini berarti ia telah membantu agama. Di sela-sela kesibukannya, wanita juga dapat melakukan kesibukan-kesibukan yang mengistirahatkan hati dari penat.

Oleh karena itu, Abu Sulaiman ad-Darani rha. berkata, “Istri yang salihah bukanlah bagian dunia ini, melainkan ia yang memfokuskanmu kepada akhirat. Sedangkan fokus dirinya adalah membina rumah tangga dan sebagai pelampiasan syahwat suaminya.”

5. Melawan hawa nafsu.

5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali

Melatih diri agar bisa memimpin dan memenuhi hak-hak keluarga; bersabar menghadapi tingkah mereka, menahan derita dari keburukan yang mereka lakukan, berupaya membina mereka, serta membimbing mereka kepada jalan agama, bersusah payah mencari penghidupan yang halal dan mendidik anak-anak, semua ini merupakan perilaku yang mulia.

Karena hal itu masuk dalam bidang kepemimpinan—yang dipimpin dalam hal ini ialah istri dan anak, sedang memimpin merupakan pekerjaan mulia. Yang perlu diwaspadai adalah kekhawatiran atas ketidaksanggupan memenuhi hak-hak mereka. Rasulullah saw. bersabda,

“Satu hari yang dilalui pemimpin adil, lebih baik dari pada ibadah selama tujuh puluh tahun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

[irp posts=”13634″ name=”Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali”]

Demikianlah manfaat-manfaat menikah menurut Imam al-Ghazali beserta aspek-aspek kelebihannya.

Salam Literasi Indonesia.

Catat Baik-baik! Ini 5 Keuntungan Menikah menurut Imam al-Ghazali Read More »

Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali

Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali

Beberapa ulama memiliki perbedaan pendapat tentang keutamaan menikah. Sebagian berpendapat menikah lebih baik dari hidup melajang untuk beribadah kepada Allah. Ulama lainnya menyetujui keutamaan menikah, tetapi melajang untuk beribadah kepada Allah lebih utama daripada menikah.

Seseorang yang berkeinginan untuk menikah, tetapi tidak melakukannya akan membuat hidupnya tidak nyaman karena ia tidak dapat menyalurkan hasrat seksualnya. Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa lebih baik tidak menikah, terutama di zaman kita ini.

Pada zaman dahulu, pernikahan memang memiliki banyak sisi positif. Sebab, saat itu belum ada pekerjaan yang sifatnya haram, moral perempuan zaman itu juga tidak serendah sekarang. Sebagaimana tercantum dalam cerita orang terdahulu, serta banyak riwayat yang membahas motivasi seseorang untuk menikah, juga aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang menikah. Dapat disimpulkan bahwa pada masa lalu menikah memang penting.

Selanjutnya kita akan membahas sisi positif dan negatif pernikahan, agar menjadi jelas faedah menikah dan tidak menikah sehingga bisa menjadi pilihan bagi siapa saja yang berusaha melepaskan diri dari keburukan yang mungkin muncul terkait kedua pilihan itu.

[irp]

Motivasi untuk Menikah

Motivasi untuk Menikah

Berikut ayat-ayat yang memotivasi dilakukannya pernikahan, yaitu firman Allah swt.,
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu.” (QS. an-Nûr [24]: 32)

—ini adalah perintah untuk menikah.

“Janganlah kau menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya.” (QS. al-Baqarah [2]: 232)

—ini adalah larangan menghalangi orang yang hendak menikah.

“Dan sungguh Kami mengutus rasul-rasul sebelum kamu dan Kami mengaruniakan mereka istri-istri beserta keturunan.” (QS. ar-Ra’d [13]: 38)

Allah swt. menyampaikan firman-Nya saat menceritakan kehidupan para Rasul dan memuji perilaku mereka, dalam rangka mengingatkan tentang pemberian karunia dan kebaikan Allah kepada mereka.

Diceritakan bahwa Nabi Yahya as. telah menikah, tetapi ia belum melakukan hubungan suami-istri. Ada juga yang mengatakan bahwa itu dilakukannya demi meraih keutamaan dan mengamalkan kebaikan. Ada juga riwayat lain mengatakan bahwa beliau menikah semata-mata untuk menahan pandangan.

Adapun motivasi yang bersumber dari cerita Nabi saw.,

Rasulullah saw. bersabda,

“Menikah adalah sunahku. Maka barang siapa tidak suka dengan sunahku, berarti ia membenciku.”
Nabi saw. bersabda,

“Barang siapa menikah, ia telah mendapatkan setengah dari agamanya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengahnya yang lain.” (HR. Ibnu al-Jauzi)

Ini merupakan isyarat bahwa kelebihan menikah yakni dalam rangka mendapat keutuhan beragama dengan membentengi diri dari mara bahaya, karena yang banyak mencederai keberagamaan seseorang adalah hasrat kemaluan dan perutnya. Dengan menikah, seseorang telah mencukupi kebutuhan salah satu dari dua hal itu.

[irp]

Motivasi untuk Menjauhi Pernikahan

Motivasi untuk Menjauhi Pernikahan

Mengenai kekhawatiran yang muncul terkait pernikahan, Rasulullah saw. pernah bersabda,

“Sebaik-baik manusia setelah dua ratus (tahun dari sekarang—penj.) adalah yang (bebannya) ringan, yang terputus—tidak memiliki keluarga, dan tidak pula memiliki anak.” (HR. Abu Ya’la dan al-Khitabi)

Abu Sulaiman ad-Darani pernah ditanya soal menikah, dan dia menjawab, “Menahan diri tidak menikah lebih baik daripada bersabar atas apa yang terjadi setelah menikah. Dan bersabar setelah menikah lebih baik dari menahan diri dalam menghindari api neraka.”

Ia juga pernah berkata, “Orang yang membujang akan mendapatkan manisnya ibadah juga ketenangan hati yang tidak didapati oleh orang yang beristri.”

Inti yang bisa diambil dari paparan di atas ialah, tidak ada nukilan hadis dari seorang pun yang menganjurkan untuk tidak menikah secara mutlak, kecuali anjuran itu disertai suatu alasan.

Sedangkan motivasi atau anjuran untuk menikah, jelas selalu bersifat mutlak dan terkadang disertakan pula dengan suatu alasan. Tugas kita yaitu menyingkap dan menelusuri sisi positif dan negatif pernikahan beserta manfaat-manfaatnya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

Motivasi untuk Melaksanakan dan Menjauhi Pernikahan menurut Imam al-Ghazali Read More »

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam: Bagaimana Dahulu Umat Islam Menghadapi Pandemi dan Apa Saja Pelajaran yang Bisa Kita Ambil Sekarang?

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Belakangan ini, buku Badzlul Ma’un fi Fadhli ath-Tha’un (pemberian bantuan kepada para penderita penyakit taun), karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449 M), banyak dicari-cari orang. Hal ini tak lepas dari isi kandungannya yang sangat sesuai dengan konteks sekarang, yaitu membahas pandemi dengan segala permasalahan dan dinamikanya dalam sudut pandang Islam.

Walaupun Covid-19 berbeda dengan taun, tetapi di antara keduanya memiliki kesamaan yang mencolok, yaitu sama-sama menular, cepat, dan mematikan

Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1416 M, dan sempat berhenti sebelum kemudian diselesaikan pada tahun 1430 M setelah para sahabat dan murid-muridnya meminta untuk mengumpulkan hadis yang berkaitan tentang taun. Selain itu, faktor penulisan buku ini juga karena ketiga putri Ibnu Hajar yang bernama Fathimah, Zeinah, dan Ghaliyah meninggal karena wabah taun.

Sayangnya, buku ini belum ada yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sampai akhirnya Turos Pustaka menjadi penerbit pertama di Indonesia yang menerjemahkan buku ini. Penerjemahnya, Ustadz Fuad Syaifudin Nur, penerjemah kitab Al-Umm Imam Syafi’i.

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam berisikan hadis-hadis dengan sanad (mata rantai periwayatan) yang sangat lengkap dan rinci, sehingga validitas setiap informasi di dalamnya dapat dipertanggungjawabkan.

Sangat penting untuk dicatat di sini, buku ini sangat relevan untuk menjadi acuan umat muslim Indonesia bahkan dunia dalam menghadapi masa-masa pandemi. Karena, dinamika yang direkam dalam buku ini sama persis dengan apa yang terjadi pada masa sekarang. Beberapa poin pembahasan penting dalam buku ini antara lain:

[irp]

1. Sejarah Asal-usul Pandemi (Taun) menurut Ibnu Hajar al-Asqalani

Berlandaskan pada hadis sahih, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa wabah taun sudah ditemukan pada masa Nabi Musa as. dan Bani Israil. Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya sakit―atau penyakit―ini adalah azab yang dengannya diazab orang-orang sebelum kalian”. (Dalam satu riwayat lain: Yang dengannya sebagian Bani Israil telah diazab)

Sepeninggal Nabi Musa as. dan Nabi Harun as., Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as. bahwa Bani Israil terlalu banyak membangkang, sehingga Dia memberi mereka tiga pilihan sebagai tebusan:

1) Ditimpa kekeringan selama dua tahun
2) Musuh berkuasa atas mereka selama dua bulan
3) Dikirimkan taun kepada mereka selama tiga hari.

Seperti yang dituliskan dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, atas kesepakatan Bani Israil, Nabi Daud as. memilihkan untuk mereka opsi yang terakhir, yaitu ditimpakannya wabah taun selama tiga hari. Setelah itu, tewaslah dari kalangan Bani Israil sebanyak tujuh puluh ribu orang―ada yang menyatakan seratus ribu orang―sampai matahari condong ke barat. Nabi Daud as. pun memohon kepada Allah agar taun diangkat, lalu kemudian diangkat dari mereka.

2. Definisi Pandemi Jenis Taun

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Kata taun serapan dari bahasa Arab طَاعُوْنٌ dibaca “thâ’ûn”. Dalam Bahasa Indonesia, “taun” berarti: penyakit menular; wabah; epidemi.

Ibnu al-Arabi menyatakan, kata tha’în digunakan untuk menyebut korban taun. Disebutkan bahwa taun merupakan penyakit yang menyerang banyak orang dan dapat menyebabkan kematian seperti penyakit dzabhah (angina), semacam penyakit yang menyerang tenggorokan atau peradangan di dalam tubuh yang menyebabkan sesak napas.

Imam Nawawi menyebutkan bahwa sebagian ulama menafsirkan taun sebagai penyakit yang menghambat peredaran darah ke berbagai anggota tubuh. Mayoritas ulama menyatakan bahwa taun adalah penyakit bengkak dan pendarahan.

Lebih lanjut lagi, dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, Ibnu Sina dan para tabib terkemuka pada masanya menyatakan bahwa taun adalah material beracun yang dapat menyebabkan bengkak atau tonjolan mematikan. Ia menyerang daerah ketiak, saluran kemih, paha, dan lain-lain dari tubuh manusia.

[irp]

3. Penyebab Munculnya Pandemi

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

Dikutip dari Alauddin bin Nafis dalam kitab Al-Mujaz fi ath-Thibb, bahwa wabah terjadi karena kerusakan yang dialami materi-materi pembentuk udara, baik penyebab dari langit maupun dari bumi.

Penyebab dari bumi ialah air yang warna dan baunya sudah berubah, serta banyak bangkai ditemukan di sana, seperti di medan perang yang banyak mayat berjatuhan.

Mengenai penjelasan ini, WHO menyebutkan bahwa virus paling mematikan sepanjang sejarah dunia adalah flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918 M yang terjadi di bulan-bulan terakhir perang dunia I. Tidaklah berlebihan jika dikatakan penyebab flu mematikan kala itu ialah perang dunia yang telah memakan banyak korban.

Penyebab dari langit, yaitu seperti komet dan meteor yang jatuh pada akhir musim panas dan musim gugur, banyaknya hembusan angin utara dan angin timur pada bulan kanûnain (Desember dan Januari).

4. Yang Perlu Dilakukan Ketika Pandemi Melanda

Kitab Wabah dan Taun Dalam Islam

A. Jaga Jarak (Social Distancing)

Pada masa pemerintahan Umar ra., taun terjadi di Syam pada bulan Muharram dan Shafar yang menelan banyak korban. Orang-orang pun mengirim surat kepada Umar ra., mengadukan masalah itu. Lalu Umar ra. keluar, dan ketika dia tiba di dekat Syam―daerah Sargh, terdengar kabar bahwa taun yang terjadi di Syam bertambah lebih parah dari sebelumnya.

Para sahabat pun berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila taun terjadi di suatu daerah, maka janganlah kalian memasuki daerah itu. Apabila ia terjadi di suatu daerah yang kalian diami, maka ia bukan atas kalian (sebagai azab).” Umar pun kembali sampai taun hilang dari Syam.

Kisah tersebut terekam dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam dan Hadis di atas menjadi landasan “social distancing” bagi umat Islam. Tentu, ini merupakan satu-satunya tindakan (vaksin) yang harus dilakukan oleh seluruh umat dalam melewati masa pandemi.

B. Senantiasa Berdoa

Masalah doa yang sesuai dengan tuntunan sunah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan, melalui Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, bahwa para ahli fikih menyerahkan bacaan doa kunut (qunut nazilah) kepada sepenangkapan pemahaman orang yang mendengar.

Doa yang disebutkan terakhir yang diambil dari ulama salaf oleh Ibnu Hajar dalam buku ini, terkait dengan kunut, yaitu doa sebagai berikut.

“Wahai Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari bala yang berat pada jiwa, keluarga, harta, dan anak-anak kami.”

Namun, terkait berdoa bersama, seperti istigasah, shalat istisqa`, dan sebagainya, Ibnu Hajar menyebut hal demikian sebagai perbuatan bidah.

Maka, dapat disimpulkan bahwa berdoa dan beribadah harus mengikuti protokol yang telah ditentukan ulama tepercaya atau pemerintah setempat.

5. Data Berbagai Pandemi dalam Sejarah Islam

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencatat data-data jumlah korban dan daerah yang terjangkit wabah taun, dari kejadian pada masa Rasulullah saw. sampai yang terjadi pada masa ia menyelesaikan kitab Badzlul Ma’un fi Fadhl ath-Tha’un.

Dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam ini, dinyatakan ada 5 peristiwa taun besar yang pernah menimpa sepanjang sejarah Islam.

1) Taun Syirawaih, terjadi di Madain pada masa Rasulullah saw pada tahun keenam Hijriah.
2) Taun Amwas, wabah ini terjadi pada masa Umar ra. pada tahun 16 H/640 M. Amwas merupakan salah satu daerah yang ada di kawasan Syam, dan taun mematikan ini terjadi di daerah tersebut.
3) Taun Jarif, terjadi pada tahun 69 H/689 M. Dinamakan “Taun Jarif”, dari akar kata “Jarofa” yang artinya menyapu bersih, karena ia menyapu manusia sebagaimana banjir besar menyapu bersih tanah-tanah.
4) Taun Fatayat, terjadi pada tahun 87 H/706 M. Fatayat artinya para gadis, dinamakan “Taun Fatayat” disebabkan banyaknya perempuan remaja yang tewas.
5) Taun Salam bin Qutaibah, terjadi pada tahun 131 H/749 M. Pandemi ini terjadi di Bashrah pada bulan Rajab, menjadi kian parah pada bulan Ramadhan, lalu mereda pada bulan Syawwal. Jumlah korban meninggal pada saat itu mencapai seribu orang setiap hari. Sebelumnya, telah terjadi Taun Asyraf, Taun Adi bin Arthah, Taun Ghurab. Namun, kejadian sebelumnya tidak disebutkan jumlah korban.

Pandemi ini (taun) terus terjadi dengan selang puluhan atau ratusan tahun sekali, sampai kejadian yang menimpa pada masa Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dan ketiga putri kesayangannya meninggal terjangkit wabah tersebut.

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri dengan 3M! (Memakai Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu sehat sentosa dalam lindungan-Nya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

Kitab Wabah dan Taun dalam Islam: Bagaimana Dahulu Umat Islam Menghadapi Pandemi dan Apa Saja Pelajaran yang Bisa Kita Ambil Sekarang? Read More »

Protokol Kesehatan di Kala Pandemi ala Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam

Pada akhir tahun 2019 dunia digemparkan virus yang menyebabkan wabah penyakit menular, yang kemudian dinamakan dengan istilah covid-19 (Corona Virus Disease tahun 2019). Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai Pandemi. Wabah ini menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Hal ini membuat semua kalangan masyarakat bertindak dalam menyikapi penyebaran wabah tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat; tindakan tegas dari pihak pemerintah pun turut dijalankan.

Namun, tahukah kita, berbagai usaha yang telah dianjurkan selama masa pandemi versi Islam? Berikut ini beberapa panduan dari Ibnu Hajar al-Asqalani di kala pandemi yang disarikan dari Kitab Wabah dan Taun dalam Islam yang masih relevan untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menyikapi covid-19.

[irp]

1. Karantina wilayah (lockdown dalam bahasa Inggris)

Karantina wilayah (lockdown dalam bahasa Inggris)

Sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran virus, karantina wilayah adalah satu-satunya solusi yang sangat jitu. Pasalnya, ketika seorang yang terinfeksi virus berkunjung ke suatu daerah, secara langsung akan menularkan kepada orang yang kontak dengannya. Maka, karantina wilayah merupakan sebuah tindakan awal yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus.

Tahukah kita? Ternyata, tindakan ini sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, pada masa Rasulullah saw., beliau pernah memerintahkan pemberlakuan karantina wilayah bagi daerah yang diserang wabah penyakit.

Dalam buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam terekam jelas dari kisah pembatalan kunjungan Umar ra. ke Syam.

Diceritakan, ketika masa pemerintahannya, wabah taun telah melanda Negeri Syam pada bulan Muharram dan Shafar yang menelan banyak korban tewas, lalu taun itu hilang. Orang-orang pun mengirim surat kepada Umar ra. mengadukan masalah itu.

Kemudian Umar ra. dan sahabat lainnya pergi menuju Syam. Sesampainya di daerah dekat Syam (daerah Sargh), sampailah kabar kepadanya bahwa taun yang terjadi di Syam bertambah parah jauh lebih parah dari sebelumnya.

Di saat seperti itu, Umar ra. memanggil orang-orang Muhajirin, Anshar, dan pemuka suku Quraisy untuk mendiskusikan tentang tindakan apa yang harus dilakukannya. Setelah panjang diskusi, dicapailah kesepakatan untuk kembali pulang ke Madinah.

Akan tetapi, Abu Ubaidah sebagai gubernur Syam mengatakan, “Apakah engkau lari dari takdir Allah?” Umar ra. menanggapi pemikiran itu dengan berkata, “Kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain…..”

Lalu, Abdurrahman bin Auf ra. mendekati forum diskusi itu seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku memiliki suatu ilmu tentang hal ini. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

“Apabila kalian mendengar (taun) itu terjadi di suatu tempat, janganlah kalian datangi tempat itu; dan apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian sedang berada di situ, janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.’” Umar ra. sontak mengucapkan hamdalah dan pujian kepada Allah, lalu dia pun kembali (membatalkan memasuki Negeri Syam).

Hadis di atas, adalah landasan yang kuat bagi umat Islam dalam memberlakukan karantina wilayah untuk mencegah tersebarnya virus menular yang mematikan di masa pandemi, apapun nama jenis virusnya.

2. PSBB (pembatasan sosial berskala besar)

PSBB (pembatasan sosial berskala besar)

Seperti halnya karantina wilayah, kerumunan orang di masa pandemi pun patut untuk diwaspadai. Karena, hal tersebut merupakan salah satu penyebab menularnya virus. Dan kita tidak pernah tahu orang yang berjumpa dengan kita adalah orang tanpa gejala (OTG). Maka, upaya pembatasan sosial sudah sepatutnya untuk dilakukan.

Ternyata, hukum mengenai hal ini telah dibahas tuntas dalam syariat Islam. Landasan hukumnya adalah pelarangan Rasulullah saw. bagi penderita taun untuk keluar dari daerah tersebut. Sebagaimana yang dicatat dalam buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, dikatakan oleh Ibnu Hajar, “Imam Syafi’i telah menaskan bahwa, jika seseorang berada di suatu tempat yang taun menyebar luas di sana, maka status semua orang yang bermukim di daerah itu adalah seperti orang yang mengalami penyakit mengkhawatirkan, walaupun dia tidak terkena taun.”

Begitu juga dengan Qadhi Husein, seorang hakim dan ahli fikih, menyatakan bahwa, “Orang yang berada di daerah taun, statusnya sama seperti orang yang mengalami penyakit mengkhawatirkan, dengan dalil larangan Rasulullah saw. bagi orang yang berada di daerah taun untuk keluar dari situ.”

Dapat disimpulkan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Selain berlandaskan pada hadis larangan Rasulullah saw. di atas, surat al-Baqarah ayat 195 juga merupakan landasan dasar pemberlakuan PSBB. Allah swt. berfirman,

“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah [2]: 195)

Ayat ini jelas sekali melarang orang yang sengaja mendekatkan diri kepada kehancuran dan penyakit. Begitu pula pada masa pandemi, ayat tersebut melarang keras seseorang yang sengaja menularkan ataupun tertular penyakit.

3. Tetap di Rumah (#StayHome)

Tetap di Rumah (#StayHome)

Tidak hanya PSBB saja yang diimbau oleh pemerintah. Namun, anjuran untuk selalu tetap berada di rumah pun turut diserukan. Walaupun dampaknya besar bagi ekonomi negara dan masyarakat, berdiam diri di rumah adalah satu-satunya cara paling efektif untuk memutuskan mata rantai virus.

Mengenai hal ini, Rasulullah saw. pun telah menganjurkan untuk tetap di rumah (#stayhome) pada masa pandemi. Berikut ini potongan hadis riwayat Imam Ahmad dari Aisyah ra.,

“Tidak ada seorang pun yang terkena taun, lalu dia tetap diam di rumahnya dengan sabar serta mengharap pahala dari Allah, dan dia tahu bahwa tidak ada yang dapat mengenai dirinya kecuali hanya apa yang telah Allah tetapkan baginya, kecuali baginya pahala yang setara dengan pahala orang syahid.”

Dari hadis tersebut, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa orang yang berdiam di rumahnya selama wabah, sembari bersabar, mengharap ridha ilahi, dan mengimani takdir Allah, dia akan memperoleh seperti pahala orang mati syahid meskipun dirinya tidak terkena wabah.

Dia mengutip salah satu hadis Nabi yang berbunyi, “Sesungguhnya kebanyakan para syuhada di kalangan umatku adalah orang-orang yang mati di atas kasur.”

Jadi, jelaslah sudah, bahwa Islam menganjurkan untuk tetap di rumah (#stayhome) pada masa pandemi, dan menyetarakannya dengan mereka yang sedang berjuang di jalan Allah swt.

4. Hukum Berkumpul Shalat & Doa Berjamaah

Hukum Berkumpul Shalat & Doa Berjamaah

Anjuran PSBB dan tetap di rumah bukan hanya berdampak pada tatanan sosial saja, bahkan dampaknya sangat terasa dalam praktik ibadah. Misalnya, silaturahmi, shalat jum’at, dan ibadah lainnya yang berhubungan dengan perkumpulan.

Pasalnya, semua masjid tidak mengadakan shalat Jum’at dikarenakan mengkhawatirkannya penyebaran virus yang semakin hari semakin bertambah korban. Terlebih lagi, pada waktu idul fitri, hampir semua masjid tidak mengadakan shalat idul fitri yang hanya dilaksanakan satu tahun sekali itu.

Apa pandangan Islam dalam hal ini?

Menanggapi realita tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan pandangan berdasarkan dalil yang kuat dan berkata, “Adapun berkenaan dengan tindakan berdoa secara berjamaah untuk memohon dihilangkannya taun, dengan cara seperti yang dilakukan pada Shalat Istisqa` (shalat minta hujan), itu adalah bidah.”

Lebih lanjut, dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam, Ibnu Hajar mencatat, “Disebutkan bahwa itu pernah terjadi pada tahun 49 H, lalu semua orang pergi keluar ke sahara termasuk para pembesar negeri. Mereka lalu berdoa dan melakukan istigasah. Dan ternyata setelah itu, taun justru semakin parah, padahal sebelum doa dilakukan taun tidak terlalu parah.”

Bidah berarti suatu ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw., generasi sahabat, dan tabi’in. Artinya, berkerumun di masa pandemi (taun) sangat tidak dibenarkan dalam syariat. Karena, ayat yang telah disebutkan di atas sudah jelas menyatakan bahwa haram hukumnya seseorang sengaja menjatuhkan diri pada kebinasaan atau penyakit.

Dapat disimpulkan dari buku ini, bahwa berkerumun itu tidak dibenarkan walaupun dalam hal ibadah. Namun, ibadah tetap dilaksanakan dengan memenuhi protokol kesehatan yang telah dianjurkan oleh dokter.

5. Pola Hidup Bersih dan Sehat

Pola Hidup Bersih dan Sehat

Selama belum ditemukannya vaksin atau antivirus corona, kemungkinan manusia hidup berdampingan dengan virus ini, seperti halnya penyakit flu dan sejenisnya. Dalam keadaan seperti ini, hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan pola dan gaya hidup sehat, baik makanan, olah raga, jaga jarak, maupun rutin mencuci tangan.

Apakah anjuran itu sesuai dengan syariat Islam? Mari sama-sama kita telusuri di buku Kitab Wabah dan Taun dalam Islam.

Tentu saja, dalam Islam, saran dari seorang dokter (tabib) memiliki porsi khusus yang bisa dijadikan landasan hukum. Misalkan, seseorang dibolehkan tidak berwudhu (namun tayamum) ketika hendak shalat jika dokter menyatakan bahwa orang tersebut alergi terhadap air, sehingga air dapat berbahaya baginya. Dalam hal ini, hukum fikih akan butuh pertimbangan dari saran dokter.

Dalam hubungannya dengan masa wabah taun, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “Di antara dalil-dalil yang menunjukkan perintah syariat untuk berobat adalah menjaga diri di tengah terjadinya wabah dari hal-hal yang disarankan oleh para tabib (dokter), seperti mengeluarkan kotoran tubuh, mengurangi makan, tidak melakukan olahraga, tidak mendatangi pemandian umum, tetap diam dan tenang, serta tidak banyak menghirup udara yang buruk.”

Pernyataan Ibnu Hajar tersebut merupakan anjuran dokter pada masa itu. Tentunya jenis virusnya berbeda sehingga anjuran dokter pada masa itu pun berbeda dengan masa covid-19 sekarang. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan ialah patuh terhadap saran dan anjuran dokter karena dokter lebih tahu mengenai jenis virus, penanganan, dan pencegahannya.

Dan, firman Allah swt., “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah [2]: 195), ayat ini merupakan landasan utama dalam hal ini, yaitu menjauh dari penyakit. Namun, untuk menghindari virus menular itu butuh akan saran para dokter.

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu 3M! (Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu sehat sentosa dalam lindungan-Nya.

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

Protokol Kesehatan di Kala Pandemi ala Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Wabah dan Taun dalam Islam Read More »

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Di era pandemi, berbagai pendapat tentang munculnya wabah merupakan hal yang wajar. Berbagai pendapat itu bahkan mampu memantik perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya berada dalam ranah medis, tetapi juga dalam ruang lingkup teologis. Pertentangan tersebut sudah ada semenjak Abad Pertengahan.

Pada abad ke-14 M, ketika wabah maut hitam melanda negara-negara Islam, para ilmuwan muslim mencoba mengemukakan pendapat mereka mengenai asal-usul wabah. Salah satu di antara ulama yang mengkaji ihwal pandemi adalah Ibnu Hajar al-Asqalani.

Dalam kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadli ath-Tha’un, Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan berbagai isu terkait pandemi. Mulai dari asal-usulnya, pendapat ulama-ulama sebelumnya terkait penyembuhan penyakit menular, hingga protokol-protokol di masa pandemi.

Terkait kajian teologis tentang wabah dan taun, Ibnu Hajar al-Asqalani memiliki 3 pendapat yang ia simpulkan berdasarkan hadis Nabi. Apa saja itu? Simak pemaparannya di bawah ini.

[irp posts=”13429″ name=”3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M”]

1. Wabah dan Taun sebagai Azab Umat Terdahulu

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Pada bab ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menukil salah satu perkataan Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah.

Rasulullah saw. bersabda:

‘Sesungguhnya taun adalah azab dan sisa azab yang ditimpakan kepada suatu kaum.’” (al-Hadis) Lafal Abu Bakar bin Abu Syaibah.

Masih di pembahasan yang sama, Ibnu Hajar al-Asqalani juga menuliskan hadis nabi mengenai pandemi yang sifatnya sesekali datang dan sesekali pergi.

“Sesungguhnya nyeri sakit ini –atau penyakit ini merupakan azab yang ditimpakan kepada sebagian umat sebelum kalian. Kemudian azab itu menetap di bumi, lalu sesekali pergi dan sesekali datang.”

Hadis itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari jalur Ibnu Wahb.

2. Wabah dan Taun Adalah Azab bagi Orang Kafir

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Terkait hal ini, Ibnu Hajar al-Asqalani mengabarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Asib, seorang budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw.

Rasulullah saw. bersabda:

‘Jibril as. mendatangiku dengan membawa demam dan taun. Aku pun menahan demam di Madinah dan kulepas taun ke Syam. Taun adalah kesyahidan bagi umatku dan rahmat bagi mereka, tetapi taun adalah kotoran bagi orang kafir.’” (HR. Ahmad)

 

Hadis di atas bersifat hasan. Nama asli Abu Asib adalah Ahmar, tetapi dia lebih masyhur dengan nama kunyahnya. Hadisnya itu telah sampai kepada Ibnu Hajar al-Asqalani dengan sanad tinggi dalam kitab Mu’jam ath-Thabrâni dan kitab al-Ma’rifah karya Ibnu Mandah.

3. Wabah dan Taun sebagai Gerbang Kesyahidan

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan

Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa para korban wabah dan taun dari kalangan umat Islam berstatus syahid. Dalam pengertian bahwa orang tersebut mendapatkan pahala sebagai syahid. Yang sebagian besarnya merupakan kematian dalam keadaan yang berat.

Ia menukil sebuah hadis yang menyatakan bahwa kesyahidan tidak khusus didapatkan melalui mati dalam pertempuran.

Imam Malik—semoga Allah swt. merahmati beliau—meriwayatkan dalam Al-Muwaththa` dari Sumay, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Para syuhada ada lima: orang yang mati terkena taun, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangungan, dan orang yang mati di jalan Allah.”

Allah menjadikan itu sebagai anugerah bagi umat Muhammad saw., dengan menjadikan itu sebagai penghapus bagi dosa-dosa mereka sekaligus penambah bagi pahala mereka. Allah Mahatahu.

 

Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu 3M! (Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu seha sentosa dalam lindunganNYA.

 

Salam Literasi Indonesia.

[irp]

 

3 Pendapat Teologis Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Wabah dan Taun di Abad Pertengahan Read More »

3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M

Dalam Kitāb al-sulūk lī-ma ‘rifa duwal al-mulūk, al-Maqrizi menulis bahwa ketika Wabah Maut Hitam (Black Death) menghantam Mesir, ada banyak kematian yang terjadi di sana. Ia mengemukakan bahwa The Black Death adalah pandemi yang paling buruk yang pernah terjadi di dunia Islam.

Al-Maqrizi melaporkan bahwa Wabah Maut Hitam menewaskan seratus orang per hari di Alexandria. Jumlah itu kemudian meningkat drastis menjadi dua ratus korban per harinya. Wabah kemudian menyebar ke seluruh Delta Nil, seperti yang ditulis al-Marziqi, “Tidak ada yang tersisa untuk mengumpulkan hasil panen.”

Ketika wabah melanda Kairo, sultan dan anggota-anggota terkemuka rezim yang berkuasa melarikan diri dari kota. Begitu wabah mencapai puncaknya di sekitar Desember 1348, dilaporkan bahwa sekitar 7.000 orang meninggal per hari.

Pandemi yang melanda Mesir, khususnya Kairo, tidak hanya mengubah pola masyarakat dari segi perekonomian, tetapi juga dari segi peribadatan.

Apa saja ritual-ritual keagamaan muslim Kairo ketika Pandemi melanda? Simak penjelasannya di bawah ini.

 

[irp posts=”13410″ name=”5 Wabah dan Taun Terkelam dalam Sejarah Manusia”]

 

1. Doa Berjamaah

Doa Berjamaah

Menurut catatan Michael Dols dalam The Black Death in the Middle East, ketika Wabah Maut Hitam sedang parah-parahnya, perintah diberlakukan di Kairo untuk berkumpul di masjid dan untuk mengucapkan doa yang direkomendasikan secara bersamaan.

Pada hari Jumat, 6 Ramadhan 749 H/28 November 1348 M, masyarakat diundang untuk berkumpul di masjid di dekat Qubbat an-Nashr untuk membaca al-Quran bersama-sama. Prosesi yang sama dilakukan di masjid-masjid yang berbeda di wilayah Kairo dan Fustat.

2. Proses Pemakaman Masal

3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M

Pada tahun 1430 M, ketika korban Pandemi sudah terlalu banyak, pemerintah memutuskan untuk menguburkan jenazah para korban wabah secara masal.

Sebelum dikuburkan, para jenazah korban disalatkan terlebih dahulu di musala Bab al-Nash di ujung utara gerbang Fatimid Kairo.

Setelah disalatkan para jenazah tersebut dikuburkan dalam satu makam yang besar yang bisa memuat hingga empat puluh jenazah.

 

3. Penutupan Masjid

Penutupan Masjid

Masih di tahun yang sama, Al-Maqrizi melaporkan bahwa selama pandemi berlangsung bahwa di kota Bilbays di tepi timur Delta Nil, “Masjid, toko, dan pondok-pondok dibiarkan kosong.”

Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari lebih waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan.

 

Salam Literasi Indonesia.

 

[irp]

3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M Read More »

5 Wabah dan Taun Terkelam dalam Sejarah Manusia

Usia Peradaban manusia sudah cukup lama. Ada banyak hal yang telah terjadi dan mewujud sebagai memori kolektif bersama. Ada kemenangan, ada pula kekalahan.

Di antara sekian banyak hal itu, kenangan buruk tentang wabah dan pandemi kembali menelusup ke dalam benak banyak orang. Semua bermula ketika virus Covid-19 menyebar dan tak kunjung reda.

Di tengah-tengah masa pagebluk seperti sekarang ini, rasanya tak ada yang lebih dekat ketimbang kematian. Babak penjang perjalanan manusia di muka bumi mencatat setidaknya ada 5 jenis pandemi yang telah menelan banyak korban.

Apa saja itu? Simak pemaparannya di bawah ini.

 

[irp]

 

1. Justinian Plague (541-549 M)

Wabah pandemi dan taun dalam sejarah manusia

Justinian Plague dikenal sebagai awal dari pandemi wabah pertama yang disebabkan bakteri Yersinia Pestis. Wabah ini menyebabkan seperlima populasi di Ibukota kekaisaran Byzantium tewas.

Wabah ini dinamai sesuai dengan nama kaisar Romawi di Konstantinopel, Justinianus 1 (527-565 M). Penyebaran wabah ini meliputi seluruh Cekungan Mediterania, Eropa, dan Timur Dekat.

Pada tahun 544 M wabah ini sudah menyebar di Laut Mediterania dan bertahan di Eropa Utara dan Semenanjung Arab hingga tahun 549 M.

2. Taun Amwas (638-639 M)

Taun Amwas (638-639 M)
Taun Amwas adalah sebuah wabah yang menimpa negeri Syam pada tahun 638-639 M. Penyebabnya diyakini sebagai penyakit Pes Bubo yang muncul kembali setelah Justinian Plague pada abad ke-6 M.

Taun Amwas adalah sebuah wabah yang menimpa negeri Syam pada tahun 638-639 M. Penyebabnya diyakini sebagai penyakit Pes Bubo yang muncul kembali setelah Justinian Plague pada abad ke-6 M.

Sekitar 25.000 prajurit muslim beserta keluarganya meninggal dalam pandemi ini, termasuk Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi SUfyan, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.

 

3. The Black Death (1347-1351 M)

The Black Death (1347-1351 M)
The Black Death atau Maut Hitam adalah sebuah pandemi yang melanda Eropa pada abad ke-14 M. Wabah ini membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa.

The Black Death atau Maut Hitam adalah sebuah pandemi yang melanda Eropa pada abad ke-14 M. Wabah ini membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa.

Penyakit diduga berlanjut hingga tahun 1700-an, tetapi dengan intensitas dan tingkat fatalitas yang berbeda.

Salah satu dampak nyata The Black Death adalah penurunan drastis populasi eropa dan perubahan struktur sosial Eropa.

 

4. Flu Spanyol (1918-1920 M)

Flu Spanyol (1918-1920 M)
Flu Spanyol adalah pandemi influenza yang disebabkan oleh virus influenza A H1N1. Pandemi ini berlangsung dari 1918-1920. Ia pertama kali muncul di Afrika Barat dan Prancis lalu menyebar ke seluruh dunia.

Flu Spanyol adalah pandemi influenza yang disebabkan oleh virus influenza A H1N1. Pandemi ini berlangsung dari 1918-1920. Ia pertama kali muncul di Afrika Barat dan Prancis lalu menyebar ke seluruh dunia.

Selama pandemi ini berlangsung, korbannya mencapai 50 juta hingga 100 juta. Maka tak ayal, pandemi ini dianggap sebagai pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia.

Di Indonesia sendiri, korban flu ini diperkirakan mencapai 1-1,5 juta pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

 

5. Pandemi Covid-19 (2019 M-)

Pandemi Covid-19 (2019 M-)
Pandemi Covid-19 disebabkan oleh virus corona jenis baru yang dinamakan SARS-CoV-2. Virus ini pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019. Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai Pandemi.

Pandemi Covid-19 disebabkan oleh virus corona jenis baru yang dinamakan SARS-CoV-2. Virus ini pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019. Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya sebagai Pandemi.

Hingga kini pandemi ini telah menewaskan lebih dari 195.755 orang dan telah menyebar ke lebih dari 210 negara dan wilayah.

Virus Covid ini masih berlangsung dan belum diketahui kapan ia akan berakhir.

Pagebluk memang membuat kita khawatir. Namun, percayalah semua ini pasti akan berakhir. Mari kita mendisiplinkan diri untuk selalu Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan.

 

Salam Literasi Indonesia.

 

[irp]

5 Wabah dan Taun Terkelam dalam Sejarah Manusia Read More »

Muqaddimah Ibnu Khaldun

Buku Rekomendasi Mark Zuckerberg

Pendiri Facebook

Kitab Referensi Para Pemikir Dunia, seperti Adam Smith, Max Weber, Arnold Y. Toynbee.

MUQADDIMAH

Karya IBNU KHALDUN

Mengapa Anda Harus Memiliki Buku Ini

Tentang Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun (1332-1406) adalah manusia abad ke-14 yang genius dan multitalenta. Lahir di Tunisia dan wafat di Mesir, hafidz al-Quran sejak kecil ini adalah sosok yang dinamis dengan beragam profesi.

Selama masa hidupnya ia merupakan seorang ulama, hakim, ahli fikih, filsuf, ahli hukum, diplomat, pakar politik, dosen, sosiolog, sejarah, hingga seniman dan penyair.

Jauh sebelum ilmuwan Barat menemukan berbagai macam teori ilmu sosialnya, Ibnu Khaldun melalui kitab Muqaddimah-nya sudah menuliskan teori-teorinya dengan lengkap, ilmiah, dan enak dibaca.

Isi Buku

  • Metodologi Sejarah
  • Filsafat Sejarah
  • Bias Sistematis
  • Sejarah Militer
  • Kurva Laffer
  • Perpajakan
  • Teori ‘Ashobiyah
  • Teori Konflik
  • Psikologi Islam
  • Ilmu Hadis
  • Syariah dan Fikih
  • Biologi
  • Kimia
  • Astronomi
  • Fisika
  • Determinasi lingkungan
  • Meteorologi (cuaca)
  • Bahasa
  • Demografi

APA KATA MEREKA

“Sebuah buku yang tak diragukan lagi adalah karya terbesar dari jenisnya yang belum pernah diciptakan oleh pikiran siapa pun di waktu atau tempat mana pun.”

–Arnold J. Toynbee, Sejarawan Inggris.

Beberapa pemikir modern melihatnya sebagai karya pertama yang membahas tentang ilmu sosial, sosiologi, demografi, dan sejarah budaya.

-Goodreads

Muqaddimah adalah buku sejarah Islam paling penting di dunia pra-modern.

-Amazon

Yang menarik dari Muqaddimah Ibnu Khaldun adalah  fokus dan kemampuannya mengupas alur kemunculan masyarakat dan kebudayaan manusia, termasuk timbulnya kota, politik, perdagangan, hingga ilmu pengetahuan.

–Mark Zuckerberg

Deskripsi Buku

Harga Rp 399.000

DISKON 15% Menjadi

Rp 339.150

BONUS

Tasbih Digital

Jangan lewatkan penawaran menggiurkan ini, Beli Sekarang Juga!!!

ORDER MELALUI OFFICIAL MARKETPLACE

Segera Dapatkan Gratis Ongkir Maksimal

Rp 10.000

(Khusus Pemesanan Via Website dan Whatsapp)

REVIEW BUKU

TESTIMONI PEMBELI

CARA PESAN

Segera Dapatkan Gratis Ongkir Maksimal

Rp 10.000

(Khusus Pemesanan Via Website dan Whatsapp)

Pesan sekarang dan dapatkan DISKON 15%

PERSEDIAAN TERBATAS

Whatsapp

08111466119

Muqaddimah Ibnu Khaldun Read More »

KITAB AL-HIKAM IBNU ATHA’ILLAH AS-SAKANDARI

Kitab Tasawuf Sepanjang Masa yang Pernah Diterbitkan

Nasional Bestseller! Sudah dicetak lebih dari 10 kali!

Inilah mahkota sastra kaum sufi, sebuah kitab rujukan utama soal tasawuf di dunia Islam.

Meskipun kitab ini banyak diterjemahkan dalam berbagai versi, tetap saja kitab ini selalu dicari-cari orang.

Mengapa Anda Perlu Memiliki Buku Ini?

Ibarat hidup di alam yang gersang, buku ini seperti setetes air yang akan memuaskan dahaga spiritual manusia modern.

Kenapa bisa seheboh itu?

Karena kitab ini begitu tepat dan prinsipil menohok diri kita tentang bagaimana seyogianya kita menyikapi diri kita, kehidupan ini, dan Sang Khalik. Ia laksana wahyu ilahi yang sangat memukau penuh makna.

Untuk Anda yang ingin menjadi lebih bijaksana dan dipenuhi ketenangan dalam mengarungi samudra kehidupan, semoga buku ini bisa menjadi panduan. Sebuah karya fenomenal karya Ibnu Atha’illah al-Iskandari.

APA KATA MEREKA

“Hikmah-hikmah dalam kitab al-Hikam ini laksana wahyu Ilahi. Seandainya dalam shalat dibolehkan untuk membaca selain ayat-ayat al-Quran, bait-bait dalam kitab ini sangat layak untuk itu.” 

–Maulana Ibnu ‘Arabi, Sufi

KH. A. Mustafa Bisri mendudukkan kitab ini sebagai “mutiara-mutiara cemerlang untuk meningkatkan kesadaran spiritual.”

KH. Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym), menjadikan kitab ini sebagai salah satu materi utama pengajiannya.

KH. Said Aqiel Siradj menilainya sebagai kitab yang “sangat penting untuk para pecinta jalan spiritual.”

Deskripsi Buku

AL HIKAM (Hard Cover)

Penyusun : Ibnu Athaillah as-Sakandari

Ukuran : 15.5 x 24 cm

Halaman : 532 hlm

Berat : 750 gram

Cetakan : Desember 2019

ISBN : 978-602-7327-23-3

Penerbit : Turos Pustaka

Harga Rp 149.500

DISKON 15% Menjadi

Rp 127.075

BONUS

Tasbih Digital

Jangan lewatkan penawaran menggiurkan ini, Beli Sekarang Juga!!!

ORDER MELALUI OFFICIAL MARKETPLACE

Segera Dapatkan Subsidi Ongkir

Rp 10.000

(Khusus Pemesanan Via Website dan Whatsapp)

REVIEW KITAB AL-HIKAM

TESTIMONI PEMBELI

CARA PESAN

Segera Dapatkan Subsidi Ongkir

Rp 10.000

(Khusus Pemesanan Via Website dan Whatsapp)

Pesan sekarang dan dapatkan DISKON 15%

PERSEDIAAN TERBATAS

Whatsapp

08111466119

KITAB AL-HIKAM IBNU ATHA’ILLAH AS-SAKANDARI Read More »

Ibnu Hajar al-Asqalani, Ahli Hadis Pengarang Kitab Fathul Bari

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ahmad
al-Kannani al-‘Asqalani, seorang Syaikhul Islâm dan Imâm al-Hafizh pada
zamannya. Nama panggilannya Abu al-Fadhl, tetapi lebih dikenal dengan sebutan
Ibnu Hajar.

As-Sakhawi mengungkapkan, “Nama ini adalah julukan yang diambil dari salah seorang kakeknya.” Sedangkan menurut Ibnu ‘Imad, nama ini merujuk kepada keluarga Hajar (Âlu Hajar).

Kelahiran dan Masa Remaja

Ibnu Hajar dilahirkan di Mesir pada tahun 773 H. Ayahnya meninggal
dunia ketika beliau masih bocah, tepatnya pada bulan Rajab tahun 779 H, atau
saat Ibnu Hajar berusia enam tahun. Dalam hal ini, kita bisa menyimpulkan bahwa
beliau tumbuh sebagai seorang yatim.

Ibnu Hajar memulai masa remajanya dengan menghafal al-Quran, dan
dikatakan beliau memiliki hafalan yang sangat cepat. Karena itulah, pada usia
sembilan tahun beliau sudah bisa menghafal seluruh isi al-Quran di bawah
bimbingan Syekh Shadru ad-Din ashShafti.

Berkaitan dengan masalah ini al-Hâfizh as-Suyuthi menyatakan, “Pada
mulanya Ibnu Hajar fokus mendalami sastra dan syair (puisi). Namun, ketika
telah mencapai tujuannya dalam bidang ini, sejak tahun 794 H beliau mendalami
hadis.

Beliau juga banyak mendengar hadis dari berbagai sumber dan
mengembara sampai ke Irak. Di negeri tersebut, beliau berguru kepada Syekh al-Hâfizh
Abu al-Fadhl al-‘Iraqi. Tidak mengherankan jika Ibnu Hajar sangat unggul dalam
ilmu hadis, dan begitu menonjol dalam seluruh cabang keilmuan ini.”

Menginjak dewasa, Ibnu Hajar berguru kepada asy-Syams bin al-Qatthan, salah seorang penasihatnya dalam ilmu fikih dan bahasa Arab. Selain itu, beliau juga berguru ilmu fikih kepada al-Ibnasi, Balyaqni, dan Ibnu Mulqin.

Pengembaraan Ilmu

Pengembaraan keilmuan Ibnu Hajar hingga ke negeri-negeri
yang termasuk wilayah Syam, Mesir, dan Hijaz. Terbukti, beliau pernah
mengembara ke Mekah, Damaskus, Yaman, Alexandria, dan ke Qush (Afganistan) pada
tahun 793 H, sampai ke daerah Sha’id di Mesir.

Selain itu, beliau juga mempelajari hadis dari ulama-ulama Haramain (Mekah dan Madinah), Baitul Maqdis (Palestina), Nablus (Palestina), Ramlah, dan Gaza.

Guru-guru

Ibnu Hajar tercatat memiliki banyak guru yang menjadi
kepercayaannya untuk memecahkan berbagai permasalahan. Jumlah gurunya bahkan
tak tertandingi oleh siapa pun pada zamannya. Semua gurunya sangat menguasai
sekaligus paling menonjol dalam bidangnya masing-masing.

Di antaranya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad at-Tanukhi
al-Ba’albaki (dalam baca al-Quran atau qirâ`at), az-Zain al-‘Iraqi (dalam
bidang ilmu hadis), al-Haitsami, al-Balqini, dan Majduddin al-Fairuz Abadi
(seorang ahli bahasa), dan al-‘Izz bin Jama’ah. Karena itulah Ibnu Hajar sangat
menguasai berbagai disiplin ilmu.

Beliau mengutip (hadis-hadis) Abu al-‘Abbas dari Ahmad bin Umar
al-Baghdadi, sementara hadis-hadis Abu Hurairah beliau kutip dari Abdurrahman
bin al-Hâfizh adz-Dzahabi dan Ibnu ‘Irfah al-Maliki. Sedangkan dari kalangan
wanita, beliau mengutip dari Maryam binti al-Adzra’i.

Tidak hanya itu, Ibnu Hajar juga telah mendokumentasikan daftar
guru-gurunya yang paling menonjol berikut biografi mereka dalam karyanya yang
berjudul al-Majma’ al-Mu`assas bi al-Mu’jam al-Mufahras.

Dalam kitab tersebut beliau menuliskan biografi guru-gurunya secara
alfabetis, dan membaginya menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang pernah
mengajarinya ilmu hadis secara riwayat (riwâyah); dan kedua, mereka yang mengajarkan
hadis secara dirayah.

Di samping itu, Ibnu Hajar juga mengklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan ketinggian derajat mereka menjadi lima kelompok. Dalam setiap biografi masing-masing guru, beliau menuliskan hadis apa saja yang pernah beliau dengar dari guru tersebut. Sehingga sistematika penyusunan kitab itu berdasarkan hadis-hadis yang beliau dengar dari mereka.

Murid-murid

Di antara para murid yang pernah berguru kepada Ibnu Hajar adalah
Syaikhul Islâm Zakariya bin Muhammad al-Anshari, Syamsuddin Muhammad bin
Abdurrahman as-Sakhawi, Jamal Ibrahim al-Qalqasyandi, al-‘Izz bin Fahd,
al-Burhan al-Biqa’i, Syaraf Abdul Haqq as-Sinbathi, dan lain-lain.

Selain mengajar, Ibnu Hajar juga menjadi seorang mufti (pemberi
fatwa) dan pendikte hadis; memegang tampuk kepemimpinan dewan guru di berbagai
sekolah, seperti al-Hasaniyyah, al-Manshuriyyah, al-Baibarsiyyah, dan lain-lain.

Beliau juga menjadi pimpinan di lembaga pengadilan, mengarang
berbagai kitab yang sangat bermanfaat dan tak tertandingi dalam bidang ‘Ulûmul
Hadîts.

Lebih dari itu, beliau juga telah mendiktekan hadis yang beliau
hafal di lebih dari seribu majelis. Di negeri Sultan Bibars, beliau telah
mendiktekan hadis selama kurang lebih 20 tahun.

Pada masa pemerintahan Sultan al-Mua`ayyad (Mesir) beliau berkali-kali diminta menjadi hakim di negeri-negeri Syam, tetapi selalu menolak. Namun, pada akhirnya beliau menjadi hakim di Mesir pada masa pemerintahan Sultan al-Asyraf.

Karakter Keilmuan

Di antara karakter keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada Ibnu
Hajar adalah kemampuan membacanya yang sangat cepat.

Bahkan, beliau sanggup membaca kitab Shahîh al-Bukhârî hanya dalam
sepuluh kali duduk yang dilakukan setiap selesai shalat zuhur hingga shalat
asar. Sementara kitab Shahîh Muslim beliau baca dalam lima kali duduk selama
dua setengah hari.

Beliau juga sanggup membaca kitab al-Mu’jam ash-Shaghîr karya Imam Thabrani hanya dalam sekali waktu, yaitu antara shalat zuhur hingga shalat asar. Selama sekitar dua bulan lebih beliau bermukim di Damaskus, Suriah, dan sanggup membaca hampir 100 kitab sekaligus memberi catatan-catatan singkat terhadap kitab-kitab tersebut.

Karya-karya

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani adalah
ulama yang sangat produktif dalam menulis. Karya beliau tak kurang dari 270
kitab. Di antaranya adalah:

  1. Fath al-Bârî
    Syarh Shahîh al-Bukhâri, mulai ditulis tahun 817 H, dan selesai pada hari
    pertama bulan Rajab tahun 842 H. Kitab ini telah dicetak berkali-kali.
  2. Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, dicetak di Dâr ashShâdir,
    Beirut, Lebanon.
  3. Lisân al-Mîzân, dicetak di percetakan Dârul Ma’ârif, Haidar ‘Abad,
    Deccan, India.
  4. Tahdzîb at-Tahdzîb, dicetak di India dan Mesir.
  5. Taqrîb at-Tahdzîb, dicetak di Dârul Kitâb al-‘Arabi, Mesir, tahun
    1380 H.

Dan masih banyak lagi karya-karya beliau lainnya yang sangat bermanfaat. Semoga Allah membalasnya dengan segala kebaikan Islam dan umat Islam.

Wafat

Pada
akhir hayatnya, Ibnu Hajar rahimahullâh menderita sakit, tepatnya tahun 852 H.
Hingga akhirnya meninggal karena penyakit tersebut setelah shalat isya, di
penghujung malam Sabtu, tanggal 28 Zulhijjah 852 H.

Di
antara yang ikut serta mengangkat jenazahnya adalah Sang Sultan dan para
pengiringnya. Beliau dimakamkan di daerah Bani al-Kharubi, dekat pusara Imam
al-Laits bin Sa’d yang berada di depan Masjid ad-Dailami.

Semoga
Allah menganugerahkan rahmat yang luas serta pahala yang melimpah kepadanya
dari setiap ilmu beliau yang berguna bagi agama Islam dan umatnya.

Untuk
mengetahui biografi Ibnu Hajar secara lebih detail, Anda bisa merujuk pada
kitab-kitab berikut:

  1. Adh-Dhau` al-Lâmi’ li Ahli al-Qarn at-Tâsi’ karya as-Sakhawi
    (2/36).
  2. Sadzarât adz-Dzahab, karya Ibnu al-‘Imad al-Hanbali (7/270).
  3. Al-Badru ath-Thâli’ li Mahasîn min Ba’di al-Qarni at-Tâsi’ (1/87).
  4. Husnu al-Muhâdharah karya as-Suyuthi (1/363).
  5. Dzailu Tadzkirati al-Hifâzh (hlm. 326).
  6. Dzailu Thabaqât al-Hifâzh (hlm. 380).
  7. Al-A’lâm, karya az-Zirikli (1/178).

Demikianlah,
segala puji hanya bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amal saleh dapat
terlaksana.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Ahli Hadis Pengarang Kitab Fathul Bari Read More »