Di era pandemi, berbagai pendapat tentang munculnya wabah merupakan hal yang wajar. Berbagai pendapat itu bahkan mampu memantik perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya berada dalam ranah medis, tetapi juga dalam ruang lingkup teologis. Pertentangan tersebut sudah ada semenjak Abad Pertengahan.
Pada abad ke-14 M, ketika wabah maut hitam melanda negara-negara Islam, para ilmuwan muslim mencoba mengemukakan pendapat mereka mengenai asal-usul wabah. Salah satu di antara ulama yang mengkaji ihwal pandemi adalah Ibnu Hajar al-Asqalani.
Dalam kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadli ath-Tha’un, Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan berbagai isu terkait pandemi. Mulai dari asal-usulnya, pendapat ulama-ulama sebelumnya terkait penyembuhan penyakit menular, hingga protokol-protokol di masa pandemi.
Terkait kajian teologis tentang wabah dan taun, Ibnu Hajar al-Asqalani memiliki 3 pendapat yang ia simpulkan berdasarkan hadis Nabi. Apa saja itu? Simak pemaparannya di bawah ini.
[irp posts=”13429″ name=”3 Ritual Keagamaan Muslim Kairo Masa Pandemi Abad ke-14 M”]
1. Wabah dan Taun sebagai Azab Umat Terdahulu
Pada bab ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menukil salah satu perkataan Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah.
Rasulullah saw. bersabda:
‘Sesungguhnya taun adalah azab dan sisa azab yang ditimpakan kepada suatu kaum.’” (al-Hadis) Lafal Abu Bakar bin Abu Syaibah.
Masih di pembahasan yang sama, Ibnu Hajar al-Asqalani juga menuliskan hadis nabi mengenai pandemi yang sifatnya sesekali datang dan sesekali pergi.
“Sesungguhnya nyeri sakit ini –atau penyakit ini merupakan azab yang ditimpakan kepada sebagian umat sebelum kalian. Kemudian azab itu menetap di bumi, lalu sesekali pergi dan sesekali datang.”
Hadis itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari jalur Ibnu Wahb.
2. Wabah dan Taun Adalah Azab bagi Orang Kafir
Terkait hal ini, Ibnu Hajar al-Asqalani mengabarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Asib, seorang budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw.
Rasulullah saw. bersabda:
‘Jibril as. mendatangiku dengan membawa demam dan taun. Aku pun menahan demam di Madinah dan kulepas taun ke Syam. Taun adalah kesyahidan bagi umatku dan rahmat bagi mereka, tetapi taun adalah kotoran bagi orang kafir.’” (HR. Ahmad)
Hadis di atas bersifat hasan. Nama asli Abu Asib adalah Ahmar, tetapi dia lebih masyhur dengan nama kunyahnya. Hadisnya itu telah sampai kepada Ibnu Hajar al-Asqalani dengan sanad tinggi dalam kitab Mu’jam ath-Thabrâni dan kitab al-Ma’rifah karya Ibnu Mandah.
3. Wabah dan Taun sebagai Gerbang Kesyahidan
Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa para korban wabah dan taun dari kalangan umat Islam berstatus syahid. Dalam pengertian bahwa orang tersebut mendapatkan pahala sebagai syahid. Yang sebagian besarnya merupakan kematian dalam keadaan yang berat.
Ia menukil sebuah hadis yang menyatakan bahwa kesyahidan tidak khusus didapatkan melalui mati dalam pertempuran.
Imam Malik—semoga Allah swt. merahmati beliau—meriwayatkan dalam Al-Muwaththa` dari Sumay, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Para syuhada ada lima: orang yang mati terkena taun, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang tertimpa bangungan, dan orang yang mati di jalan Allah.”
Allah menjadikan itu sebagai anugerah bagi umat Muhammad saw., dengan menjadikan itu sebagai penghapus bagi dosa-dosa mereka sekaligus penambah bagi pahala mereka. Allah Mahatahu.
Sekadar mengingatkan. Pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Mari terus waspada dan mendisiplinkan diri untuk selalu 3M! (Memamaki Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Semoga kita selalu seha sentosa dalam lindunganNYA.
Salam Literasi Indonesia.
[irp]